Joshua mencari hotel dengan nama yang familier baginya via Naver dan memutuskan untuk memilih salah satu grup hotel bintang lima lengkap dengan pantai pribadi. Saat berwisata, beberapa orang menginginkan pengalaman autentik dengan menginap di resort atau bed and breakfast seakan-akan mereka melesap menjadi warga lokal.
Bagai air, waktu pun mengalir tanpa menunggu siapapun untuk mendampinginya. Grup mereka yang pada awalnya nampak lemah dan penuh kegoyahan, perlahan-lahan menapakkan kaki dengan mantap. Meski diterjang badai dari segala arah, mereka selalu kembali berkumpul di suatu ruangan dan membahasnya bersama-sama. Dari tengah asrama kecil mereka, ke salah satu ruang latihan, sampai, pada akhirnya, ke asrama masing-masing dimana mereka dibagi per lantai.
Mingyu melendot lagi—ke Seungkwan, ke Soonyoung, ke Wonwoo, ke Minghao, ke semua orang yang dia sayang, bahkan ke Jihoon yang jelas-jelas terlihat risih ketempelan badan setinggi itu. Eksekusi rasa cintanya memang begitu, dengan sentuhan dan tindakan. Dia terlahir seperti itu dan dibesarkan dalam keluarga yang serupa. Pelukan, ciuman, sentuhan; semua sama normalnya dengan bernapas bagi keluarga Kim. Mereka bahkan mengadopsi Minghao yang jauh dari keluarganya selayaknya anak mereka sendiri.
Setelah mereka menangis sejadinya saban hari, rasanya lega. Rasanya segala yang mereka tahan hingga detik ini urai begitu saja. Joshua menatap Jeonghan sebelum mereka berdua tertawa, saling mengejek karena mereka nampak jelek. Pipi basah, ingus meler, wajah merah.
Terbang sendiri dari rumahnya di Los Angeles dan membuat ibunya kehilangan putra semata wayangnya ke negara yang telah lama mereka tinggalkan bukanlah satu-satunya kesalahan hidup yang dilakukan Joshua.