Ch. 1.6: First Interaction (Unlocked: Fox Clan)

#haremhaohybrid

“Aku ingin mengenal...,” alih pandangnya menetap ke salah satu anggota klan karnivora, tepatnya yang tengah menaikkan gagang kacamata bulatnya, lalu menunjuk. “Rubah itu.”

Dengus geli keluar sebagai respon pertama yang bersangkutan. “Rubah itu...katanya,” ia menggeleng sambil menutup setengah bagian wajah atas. “Seumur hidup, baru kali ini aku dipanggil begitu. Xu Minghao, kejutan apa lagi yang kau bawa ke sini...”

“Baiklah, jikalau begitu—”

Tiba-tiba saja semua yang hadir di sana beranjak dari duduknya. Kwon membantu kedua suaminya yang sedang hamil besar untuk berdiri. Seniman yang seharusnya menghibur mereka turut pamit undur diri. Selang kerjapan mata saja, Minghao sudah ditinggalkan berdua di ruang perjamuan dengan anggota klan rubah. Kerjap-kerjap matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang menuntut sebuah jawaban logis, namun sang rubah hanya melemparkan senyuman maklum. Ia menggeser meja kayu kecil berisikan sepiring daging ayam rebus maju mendekati Minghao. Kini, jarak duduk mereka terbilang cukup dekat.

“Sesuai kesepakatan, jika ada yang menarik minatmu, maka waktu dan tempat akan dipersilakan untuk kita berbincang berdua saja,” dengan tenang, sumpit Jeon Wonwoo meraih sepotong daging putih. “Terus terang aku tak menyangka aku akan mendapatkan kehormatan menjadi yang pertama.” Taringnya menyobek daging itu sebelum ditelannya. “Apa yang ingin kau ketahui, Xu Minghao?”

Wajah sang kelinci memucat. Bagaimanapun, melihat seekor karnivora memangsa daging hewan lain—meski bukan spesiesnya—tetap membawa perasaan tidak enak. Seolah secara tak langsung ia memperingatkan Minghao bahwa daging berikutnya bisa saja adalah dagingnya. Tangan Minghao agak gemetar, andaikan ia tidak berusaha secepat mungkin menenangkan dirinya. Tidak ada yang lebih buruk daripada menampakkan kelemahan di depan musuh—

—Ah.

”...terbuka kah?”

Wonwoo mengerjap, luput menangkap cicitan Minghao barusan, “Hmm?”

“Emang segitu terbuka kah...sampe kamu bisa bilang aku kayak buku...?” gerutu si kelinci kecil. Bibirnya manyun sebagai tanda protes.

Tidak mengharapkan pertanyaan barusan, sang rubah menaikkan kedua alis. Matanya agak membulat. “Oh... Yah...,” harus menjawab bagaimana ya? Wonwoo menggaruk pipinya yang tidak gatal. “Sekali pandang saja kami tahu kau membenci kami. Matamu tidak berbohong, Xu Minghao. Di dunia kami para karnivora, kebencian terang-terangan hanya akan membawa petaka.” Lalu, sang rubah tersenyum simpul. “Tapi, di sisi lain, melihatmu begitu jujur rasanya menyegarkan. Seperti kembali ke masa kanak-kanak yang damai dan menyenangkan...”

Alis Minghao mengerut. “Aku bukan anak-anak,” ketusnya.

“Secara pribadi, kuanggap usia 15 itu anak-anak,” Wonwoo mengambil lagi sepotong daging ayam untuk dikunyah dan ditelan.

“Emangnya kamu sendiri umur berapa?”

“Dua purnama lagi akan 28.”

Hening.

”...,” Minghao berpikir sejenak. “...Paman?”

“Uhuk—” hampir Wonwoo tersedak daging. “Kenapa tetiba saja aku dipanggil paman...”

“Ya karena kamu tua.”

“28 belum tua,” ia bersikukuh. “Jika aku tua, bagaimana nasib Kak Seungcheol?”

“Heh. Serigala itu?” seketika, paras Minghao berubah kecut. “Aku nggak peduli dia kakek-kakek, relik, atau mati sekalian. Lebih baik lagi kalo semua serigala mati aja. Biar Kak Hani bisa pergi dari sana.” Rasanya lidah Minghao sepat membicarakan perihal musuh terbesarnya. Ia pun menenggak teh hijau hangatnya.

Wonwoo diam kali ini, memerhatikan Minghao dengan seksama. “Kau sebegitu bencinya dengan klan serigala?” tanyanya perlahan.

“Salah. Aku benci kalian semua,” begitu lurus bola itu digulirkan. Begitu ringan intonasi yang digunakan. Sebuah kepolosan yang amat timpang. “Kalau kalian semua nggak ada, aku, Kak Hani, Kak Shuji bakal masih tinggal damai di pondok kami, bertiga tanpa kenal derita. Karena kalian semua hidup, maka kami bertiga harus mati demi kalian. Egois. Semua karnivora seperti kalian sama egoisnya.”

Kemudian, Xu Minghao menelengkan kepala sedikit dan tersenyum begitu manis.

“Semoga kalian semua cepet mati.”

Wonwoo terhenyak meski dengan lihai ia menyembunyikannya. Matanya mengerjap beberapa kali, beberapa detik mencerna kalimat yang baru saja keluar dari wajah cantik berbibir merah tersebut. Ia pernah mendengar dari Kwon Soonyoung kalau klan kelinci bagai mawar yang berduri: cantik, tapi meledak-ledak. Sebagaimana suaminya. Sebagaimana Yoon Jeonghan. Dan, sekarang, sepertinya sebagaimana Xu Minghao.

Jeon Wonwoo menumpangkan dagu di atas kepalan tangannya, masih memandang sang kelinci dengan ketertarikan yang lebih kuat kini. Ia tersenyum lagi, tapi kali ini lebih lebar, lebih tulus. “Ah, maaf, aku belum mau mati secepat harapanmu,” seloroh sang rubah. “Lagipula, aku yang lebih mungkin membunuhmu duluan. Kau dengar kan, apa yang tadi Kwon katakan mengenai spesialisasi keluargaku?”

Minghao memicingkan mata. “Obat-obatan?” selidiknya penuh curiga. “Kamu mau ngeracunin aku ya?”

“Tidak juga,” mau tak mau ia terkekeh. Kelinci yang menarik. “Tapi aku bisa mengajarimu kalau kau mau.”

Telinga kelinci Minghao berkedut, jelas tergugah. “Pasti ada syaratnya...,” kerutan alisnya pun mendalam.

Jeon Wonwoo tertawa lagi.

“Syaratnya hanya satu,” menegakkan badannya kembali, rubah itu melanjutkan makan malamnya. Ujung sumpit lagi-lagi bergerak lihai memotong daging. Jika dilihat, cara makan Jeon Wonwoo begitu apik. Status sosial yang terpancar dari gerak-gerik, bukan dari kepongahan. “Jadilah suamiku. Akan kuajarkan semua pengetahuan klan kami akan obat dan racun padamu.”

“Nggak, makasih,” Minghao memutar bola mata. Tusukan ujung sumpit pada potongan wortelnya masuk dengan sempurna, kemudian ia bawa ke mulut untuk menelannya.

Setelahnya, mereka menyelesaikan makan malam mereka dalam keheningan, ditemani suara-suara serangga malam dan gemerisik dedaunan tertiup angin malam.