Ch 1.4: The Feast
Seakan tak peduli akan kegelisahan kelinci kecil kita, tirai malam pun turun membawa kerlipan bintang di antara terangnya bulan. Bunyi gesekan sayap jangkrik menemani kesyahduan paviliun sang kelinci saat penghuninya tengah sibuk ditata oleh kakak-kakaknya. Rambut hitam indahnya disisir rapi dan diberi minyak wewangian.
“Kak Jihoon, itu mau dipakein apa...?” Minghao memicingkan mata curiga terhadap bubuk berwarna kemerahan di jari sang koala.
“Ini dipakai di mata seperti ini,” dengan tenang ia mengusapkannya di kelopak mata sang kelinci. “Atau di pipi seperti ini.” Jari yang sama berpindah ke tulang pipinya. “Biar rona merah mukamu terlihat.”
“Buat apa sih...,” keluh Minghao, yang mendapat tawa dari Jihoon sebagai balasan.
“Haohao, lihat sini,” Jisoo mencolekkan kelingkingnya ke substansi yang lebih merah dan lengket dari yang Jihoon sapukan barusan. “Mulutnya dibuka sedikit...”
Minghao menurut, membiarkan kakak sepupunya memulaskan gincu ke bibirnya.
“Bibirmu pecah-pecah begini... kamu tidak merawat dirimu, Sayang?”
“Kan biasanya Kak Shuji yang merawatku!” bibir sang kelinci manyun sambil melantunkan protes. “Kakak pergi ya aku malas...”
Jisoo hanya tersenyum simpul. Betapa menggemaskan adik kecilnya itu. Sedari kecil, Jisoo dan Jeonghan lah yang membesarkan Minghao, epitome pecahan keluarga yang menjadi satu karena darah dan kondisi. Orangtua masing-masing telah pergi entah kemana, mungkin di dalam tanah atau di dalam perut predator, tidak ada yang mengetahui. Nasib klan kelinci setelah dinikahkan tidak terlalu menjadi prioritas dunia. Mereka bisa saja dimakan suaminya sendiri dan tak ada seorang pun yang akan menyelamatkan mereka.
Maka dari itu, Jisoo bertekad untuk memberikan suami terbaik bagi adik kecilnya tersebut. Bila takdir naas mereka tidak bisa diapa-apakan, biarlah Jisoo berharap cinta tulus bisa tumbuh di antara Minghao dan suaminya kelak, seperti halnya dirinya dengan suami-suaminya kini. Sudah cukup ia mengetahui nasib Jeonghan karena menikahi suami dari klan yang salah. Hatinya tak tega bila Minghao harus menderita juga.
Setelah seluruh pihak merasa puas akan kerja keras mereka, Jisoo mengelap peluh di keningnya, Jihoon membereskan alat-alat rias yang selesai digunakan, sementara Minghao tertegun menatap cermin. Ekor matanya dibuat tinggi menggunakan tinta, bersamaan dengan taburan bubuk gelap di sekitarnya yang menimbulkan sedikit kesan misterius. Kelopak mata dan pipinya dironai merah, nampak segar di pandangan. Wajahnya yang ditaburi bedak menutupi sebagian besar permukaan kulitnya. Dan bibirnya—berkilat indah, mekar dalam warna gincu merah. Sang kelinci mengerjap-ngerjapkan mata, sulit mempercayai refleksi siapakah yang tengah ditatapnya.
“Itu...aku?” ucapnya terbata. Ingin tangan ia angkat untuk meraba, tetapi takut bila pada akhirnya merusak upaya kakaknya.
“Tentu saja, Sayang,” kekeh Jisoo. “Dan, ini, tusuk sanggul untuk rambutmu.” Dengan lembut, kelinci yang lebih tua itu menggelung sebagian kecil rambut Minghao dan merapatkannya rapi dengan tusukan indah tersebut—berwarna kayu dengan aksen merah dan sedikit emas, bermotifkan dedaunan dan ukiran simbol klan macan. “Ini adalah tusuk sanggul yang diberikan suamiku di hari pernikahan kami. Ini adalah tanda bahwa aku adalah bagian dari klannya sejak saat itu. Tapi, kupinjamkan ini padamu bukan untuk mengikatmu, melainkan tanda bahwa aku dan seluruh klannya akan melindungimu sampai kamu mendapatkan tusuk sanggulmu sendiri dari suamimu kelak.”
Sambil saling menatap di cermin, kedua tangan Jisoo pada bahu Minghao menimbulkan rasa lega, tetapi juga sedikit merana. Kelinci kecil kita sungguh enggan menyerahkan diri pada karnivora-karnivora biadab itu!
“Tentu, suami yang kumaksud tidaklah harus berasal dari klan karnivora yang hadir malam ini,” ujarnya lembut untuk menenangkan kegelisahan Minghao yang kentara. “Bila kamu menemukan kekasih hatimu, dari klan mana pun dirinya bukanlah masalah. Yang penting, dia bisa membahagiakanmu.”
Minghao mengerjap satu kali. Ah, ya. Kwon tentu telah bercerita pada kakaknya mengenai pembicaraan mereka di hutan kala itu: bahwa ia telah berjanji untuk melepaskan Minghao bila tak ada karnivora yang meluluhkan hatinya. Sang kelinci lalu mengendus.
“Aku bahagia sama diriku sendiri,” disentuhnya tangan Jisoo pada bahunya. “Kak Shuji nggak perlu cemas. Aku bakal baik-baik aja. Sendirian. Di hutan rumah kita.”
Jelas sekali apa maksud Minghao barusan. Secercah rasa pedih menyelimuti hati Jisoo. Ia hanya bisa tersenyum miris membalas ringisan lebar penuh kepastian dari adiknya tersebut.
Perjamuan malam itu tidak kalah megah dari pertemuan para klan karnivora sebelumnya, bahkan bisa dibilang lebih meriah. Tabuhan gendang dan merdu nyanyian membawakan hiburan bagi para tamu, berikut sajian berbagai jenis daging, dari yang berenang di sungai setempat sampai yang terbang di atas langit biru. Untuk alasan yang sangat jelas, Kwon Soonyoung tidak menyuguhkan daging kelinci dan domba, juga beberapa mahkluk herbivora lainnya yang spesiesnya bekerja di rumahnya. Ia pun menjauhkan hidangan daging apa pun dari kedua suaminya, mengisi piring-piring mereka hingga penuh dengan sayur mayur. Wortel gendut berwarna jingga untuk Jisoo dan Minghao, serta rerumputan segar dicampur daun selada untuk Seungkwan. Ia sendiri memilih menu babi hutan dan ayam di mejanya.
Malam itu, suami-suaminya tampak begitu cantik, berkilau dalam rona kebahagiaan. Hati Kwon Soonyoung luluh seketika mata menangkap mereka. Ingin rasanya ia meraih dan menciumi tangan keduanya, namun ada yang lebih penting malam itu daripada kisah kasihnya. Berada di belakang para suaminya, berjalan kikuk memasuki aula utama, adalah anggota keluarga kelinci termuda dalam balutan gaun indah dan riasan sempurna. Kwon Soonyoung tidak akan berbohong dengan mengatakan ia tidak kagum akan perbedaan mencolok antara adik ipar penuh semangat yang ia temui di dalam hutan dengan makhluk tercantik setelah Jisoo dan Seungkwan yang pernah ia lihat sepanjang hidupnya itu. Kalau ia tidak salah dengar, kelinci tertua juga tak kalah cantiknya. Betapa menakjubkannya garis darah para klan Kelinci. Sang macan lalu menoleh. Jika ia saja terpana oleh kecantikan Minghao, maka anggota klan yang lain tentunya—
Hampir saja ia mendengus menahan geli.
Bagaimana tidak? Lihatlah. Desis ular terdiam, menyisakan juluran lidah yang sesekali bergerak. Percakapan rubah dengan macan kumbang langsung terhenti, tergantikan oleh dua wajah yang tertegun. Beruang selalu diam sehingga Kwon Soonyoung tidak yakin apa perbedaan signifikan yang bisa ia tangkap, namun pandangannya tak henti mengikuti gerak-gerik sang kelinci. Dan—yang paling membuat sang macan kesulitan menahan tawa—wajah melongo yang amat langka dari serigala; klan yang telah membuat kelinci tertua menderita, yang melihat klan kelinci tak lebih dari sebuah benda untuk dimiliki. Andai juru lukisnya ada di ruangan, Soonyoung akan memintanya segera bekerja untuk mengabadikan momen tersebut.
Ia kemudian menoleh lagi ke arah Minghao yang kini sudah semakin dekat. Kwon Soonyoung akan duduk di depan diapit oleh kedua suaminya, sebagaimana tata krama di klannya, dan Minghao akan duduk persis di samping Jisoo. Mereka akan menghadap para anggota klan karnivora lain yang duduk di seberang mereka. Mengingat reaksi masing-masing dari mereka sungguhlah menarik, sang macan jadi tak sabar untuk menyaksikan siapakah yang berhasil menarik minat sang kelinci termuda. Ia menatap wajah Jisoo kini—tenang dan damai, bagai sang ratu di atas papan catur.
Kwon Soonyoung tersenyum.
Betapa cerdasnya suaminya itu.