1. New Kid In Town

#gyushuahighschool

Hong Jisoo. Musim semi tahun ini dia akan menginjak kelas 1 SMA. Meski dirinya bertolak dari negara asalnya ke negara ini, tapi nggak apa-apa. Memang berat harus ninggalin sahabat dekatnya, Vernon, dan keluarganya yang sudah jadi keluarga beneran bagi Joshua, tapi dia yakin lebih banyak kesempatan bakal kebuka buat dia setelah ini. Sekolah yang ditujunya merupakan sekolah bergengsi dengan prestasi terbaik seantero negeri. Plus, Joshua menang beasiswa full gratis sampai ke tiket pesawat, akomodasi (karena dia dapat kamar asrama), serta uang jajan.

Maka, tanpa perlu pikir panjang, Joshua langsung mengepak barang-barangnya yang super sedikit itu dan terbang ke negara ini. Sesampainya di sekolah, dia langsung disambut oleh lelaki paruh baya yang tampan dan berambut hitam. “Salam kenal, Hong. Namaku Choi Seungcheol,” dia tersenyum ramah. “Biarpun aku kepala sekolah di sini, kita ngobrol santai aja ya. Dari berkasmu, kulihat kamu dapat beasiswa full?”

“Hehe,” Joshua meringis. Dia bangga terhadap dirinya sendiri.

“Hmm. Untuk yang lain sih oke, tapi ada masalah sama asrama kamu nih...”

Kedip-kedip mata si anak. Eh kenapa nih?

“Mohon maaf banget tapi kita sebenernya lagi nggak ada kamar kosong. Kemarin sempet ada kebakaran kecil, jadi beberapa kamar lagi direnovasi. Pun kamar yang lain lagi diperiksa dan dikuatin pertahanan akan apinya, jadi...,” Choi-sen menghela napas dan menatap Joshua dengan berat hati. “Maaf banget tapi kayaknya kamu harus tinggal di luar asrama.”

....Seriusan nih? Anjrit.

“Yah, Sen, gimana yah...,” Joshua garuk-garuk sisi keningnya. Dia juga jadi bingung banget. “Aku tuh ke sini sendirian. Nggak ada keluarga ato kenalan. Katanya dapet akomodasi di sini... Kalo mendadak disuruh tinggal di luar...” Bahasa sih nggak masalah. Yang jadi masalah itu duitnya, duit. Tinggal di luar kan butuh duit. Mau kerja sambilan juga, sewa apartemen butuh uang muka beberapa bulan. Pake duit siapa??

“Hmm...paham...,” Choi-sen mengetuk-ngetuk dagu sembari mikir. “Maaf banget, ini salah kita, ke-miss revisi detail beasiswa. Biaya sewa sih bisa kita tanggung, cuma nggak mungkin kita kasih kamu tinggal tanpa pengawasan. Gimana pun kamu masih minor.”

Choi-sen mikir, mikir, mikir...

Pas dia angkat wajah, kebetulan seseorang lagi numpang lewat. Jam pergantian kelas memang penyebab utama ruang guru ramai akan hiruk pikuk staff mempersiapkan materi selanjutnya atau sekadar berbincang sejenak melepas penat. Jadi, siapa saja bisa kebetulan numpang lewat pas kepala sekolah lagi ngobrol sama Joshua, but no, seolah takdir sudah ditulis rapi di kitabnya, seseorang itu haruslah adik tiri Choi Seungcheol sendiri.

“Oh! Mingyu!”

Yang dipanggil lantas berhenti. “Iya, Kak?” jawabnya.

“Sini dulu, sini! Anak ini bakal jadi murid di kelas kamu!”

Patuh, orang yang dipanggil Mingyu itu pun mendekat. “Ah, anak pindahan itu ya?” sapanya dengan ramah. “Salam kenal. Nama saya Kim Mingyu.”

Pas orang itu memampangkan senyuman lembutnya, Joshua harus mengerjap beberapa kali karena terpana. Ganteng banget ini orang, batinnya. Badannya tinggi, lengannya jadi. Ini mah supermodel nyasar. Lumayan juga masuk sini, jadi punya wali kelas seganteng ini. Biar nambah-nambahin semangat belajar gitu. “Salam kenal, Sen,” super manis, si anak tersenyum balik. “Aku Joshua. Hong Jisoo, tapi semua manggil aku Joshua.”

“Mingyu. Anak ini dapet beasiswa full, tapi kan asrama cowok lagi direnov,” Kim-sen mengangguk-angguk saat Choi-sen menjelaskan sambil menunjukkan berkas Joshua. “Jadi mau nggak mau dia harus tinggal di luar asrama.”

“Hoo...”

“Tapi dia nggak ada keluarga ato kenalan di sini. Nggak tau siapa-siapa.”

Serta-merta, Mingyu menjadi awas. “Bahaya dong,” kernyitan sebelah alis. “Nggak bisa dibiarin tinggal bener-bener sendirian gitu.” Apa faedahnya mereka jadi guru kalau seorang anak murid ditelantarin gitu aja di negara asing? Sekalian saja ijin mengajar mereka dicabut.

“Nah. Makanya, kamu setuju kan kalo dia tinggal sama kamu aja?” Choi-sen meringis.

Hening.

”...Maaf. Maksudnya gimana, Kak?” senyuman timpang. Jelas Kim-sen masih mencerna apa yang barusan keluar dari mulut kakaknya.

“Hah...,” otak Joshua sendiri nggak bisa menangkap secepat itu, apalagi hal yang super mendadak kayak belok kiri padahal sen kanan. “Bentar, bentar, Sen.... what??“

“Bener kan??” Choi-sen mengangkat bahu sok polos. “Aku jelas nggak bisa soalnya ada suamiku di rumah. Wonwoo juga sama. Cuma kamu yang single, tinggal sendiri deket dari sekolah dan bisa kupercaya!”

Kim-sen kehilangan kata-kata. Joshua malah jadi memandangi wajah melongo yang (tetap) ganteng itu. “Nah, nah! Semangat, Mingyu! Kalo ada kesulitan, bilang aja ya! Joshua juga! Ayo mulai kelas pagi kalian sana,” Choi-sen kemudian tertawa membahana bersamaan dengan bunyi dering bel pertama. Tepukan kencang kemudian mendatangi bahu Kim-sen seolah menyegel belitan benang merah dua orang asing yang baru pertama bertemu di hari itu, di suatu pagi ketika kelopak bunga Sakura menghujani sepanjang trotoar di depan gerbang sekolah mereka yang megah.

Menyatukan takdir Hong Jisoo dengan Kim Mingyu.