9. It never really moved me
Joshua mencari hotel dengan nama yang familier baginya via Naver dan memutuskan untuk memilih salah satu grup hotel bintang lima lengkap dengan pantai pribadi. Saat berwisata, beberapa orang menginginkan pengalaman autentik dengan menginap di resort atau bed and breakfast seakan-akan mereka melesap menjadi warga lokal.
Sebuah pengalaman yang, jujur, Joshua nggak sungkan untuk alami, tetapi Mingyu mengerang protes duluan, terlalu pegal linu untuk meringkuk di kasur sempit agar muat. Joshua ketawa, mengejek Mingyu akan badan besarnya sebelum memasuki pintu depan hotel dan meminta dua kamar dengan queen bed pada resepsionis.
Mingyu mengernyit, “Kok dua? Sekamar aja.”
“Katanya lo mau tidur nyenyak? Single bed nggak gitu gede kan?”
“Sama lo mah nyenyak-nyenyak aja, lagian gue muat kalo di single bed hotel begini,” Mingyu memiringkan kepala. “Sekamar aja udah biar gampang.”
Sebenarnya Joshua mengharapkan ketenangan, tapi dia juga malas ambil pusing. Dengan satu kunci kamar di lantai tinggi, mereka pun bertolak ke kamar mereka. Karena berangkat terlalu pagi, mereka nggak sempat mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi, sedangkan udara di mana mereka berada kini terasa lebih panas dan lembab.
“Gue tag mandi duluan!” Mingyu berseru sambil melompat ke tempat tidur pilihannya dekat pintu. Erangan puas pun meluncur dari celah bibir ketika tubuhnya bertemu empuk kasur dan nyaman bantal.
Joshua nggak menjawab apapun, sudah biasa setelah entah berapa banyak hotel mereka bagi selama tur di berbagai negara. Anak itu menaruh ranselnya di dekat pintu masuk dan melepas sepatu. Sepatu Mingyu yang dilepas sembarangan pun dibenahinya dengan rapi. Joshua berjalan ke arah balkon sambil melepas jaket. Pintu ke balkon kemudian dibuka.
“Whoa...”
Di hadapannya, hamparan langit cerah bermandikan terik mentari menghiasi garis lautan biru yang indah. Bau garam dan keriuhan pengunjung dalam macam-macam bahasa, suara musik yang asing di telinganya, dan desir angin mengacak pakaian serta helai rambutnya...
“Wow...,” suara Mingyu terdengar di sisi Joshua. “Hyung, Hyung, abis mandi kita turun terus nyari makan siang yok. Gue kepengen seafood.” Mingyu menyilangkan lengan di sandaran balkon dan menaruh kepalanya di sana sambil menoleh menatap Joshua.
“Apa nggak ntar malem aja seafoodnya, Gyu? Makan siang enakan sandwich nggak sih? Sandwich sama jus buah dingin...”
“Hmm, enak tuh, es krim juga...”
“Beli es krim terus jalan-jalan di pinggir pantai? Besok kita seharian maen di laut.”
“Terus malemnya seafood?”
“Boleh,” menopang dagu dengan satu tangan pada sandaran, Joshua tersenyum. Diacaknya rambut Mingyu. “Malem terakhir sebelom terbang pulang, clubbing sekalian?”
Mata Mingyu sama berkilatnya dengan Joshua.
“Oke!”
Sesuai kesepakatan dadakan, mereka mandi dan memakai baju santai: kaus dan celana pendek. Sekali lagi mengandalkan Naver, Mingyu menemukan tempat makan siang yang terkenal akan sandwichnya. Setelah makan, mereka berkeliling pusat perbelanjaan sejenak, melihat-lihat baju maupun sesuatu yang menarik untuk dibawa pulang. Mingyu membeli sehelai kemeja dan sehelai kaus kutang warna hitam. Joshua membeli topi serta beberapa lembar pakaian. Mereka akan meminta binatu hotel untuk mencucinya. The perk of pergi dadakan adalah kamu lupa membawa banyak barang dan berakhir membelinya di tempat tujuan.
Puas berbelanja, mereka akhirnya membeli es krim dan berjalan-jalan menyisiri garis pantai sambil menenteng sandal. Matahari hampir terbenam sehingga Joshua dan Mingyu memutuskan untuk berada di sana sampai malam menjelang.
“Mingyu-yah...”
“Hmm?”
Joshua, sambil tetap memandangi matahari besar berwarna jingga kemerahan yang perlahan-lahan turun di ufuk Barat, pun tersenyum manis.
“Makasih ya udah mau nemenin gue berbuat gila gini.”
Andai Joshua menoleh, mungkin dia juga akan melihat bagaimana Mingyu ikut tersenyum bersamanya.
“Anytime, Hyung.”
Nggak jauh dari pantai tempat mereka berjalan-jalan, mereka makan malam di restoran dekat situ. Ternyata restoran tersebut milik sebuah keluarga dan mereka menyambut ramah Joshua dan Mingyu. Seafood yang disediakan begitu segar dan nikmat. Porsinya pun cukup banyak. Joshua menguliti seekor udang rebus gemuk dan menyuapinya ke Mingyu. Sebagai balasan, Mingyu meracik bumbu yang disediakan dan mencelupkan daging kepiting ke sana, menyuapi Joshua balik. Mata Joshua melebar dan dia pun mengangguk-angguk, mengakui kelezatan bumbu racikan Mingyu.
Mereka makan dengan lahap sampai Joshua rasanya begitu mengantuk ketika sudah berbaring di kasur hotelnya yang nyaman. Mingyu memarahinya, menyuruhnya ganti baju dan mandi karena asap bekas bakaran seafood serta keringat pasti menempel di tubuh mereka. Mengerang, Joshua sayup-sayup menutup mata.
“Hyung, mandi sekarang ato gue yang mandiin.”
Seketika, matanya membuka. Dia buru-buru melompat dan berjalan cepat ke kamar mandi, melewati Mingyu yang berkacak pinggang (dan telanjang dada) seolah anak itu nggak ada di sana. Pintu kamar mandi menutup. Kim Mingyu menghela napas, lalu menelepon housekeeping untuk menaruh cucian dan resepsionis untuk memesan program olahraga air yang disediakan hotel mereka esok hari.