8. Even when flowers bloomed in the sky
“Wow...”
“Hmm? Kenapa, Hyung?”
“Enggak...,” Joshua mengalihkan pandangan dari jendela pesawat ke Mingyu yang sudah bersiap untuk tidur di sebelahnya. Penerbangan 4 jam cukup untuk mengisi perut dan tenaga, apalagi bagi Mingyu yang terkenal bukan manusia pagi hari. Hidupnya dimulai dari siang ke malam, dan tertidur saat pagi menjelang, berbeda dengan Joshua yang hampir selalu bangun lebih dulu dari member yang lain. “Kaget aja lo beneran ikut. Gue pikir bakal batal.”
“Kan gue udah nge-iyain ajakan lo,” Mingyu menguap. “Masa gue boong.”
“Nggak gitu… Yaudah, tidur sana,” tangan Joshua menyingkirkan rambut depan Mingyu dari sisi dahinya. “Ntar gue bangunin kalo waktunya makan.”
“Mm,” lalu, di luar dugaan, Mingyu merungkel ke arah Joshua, sengaja menaruh kepalanya di bahu si yang lebih tua. “Pinjem ya. Gue benci kursi tengah.”
Joshua hendak mengajaknya tukaran kursi biar Mingyu bisa tidur bersandar ke jendela, namun batal karena napas anak itu mulai terdengar teratur. Definisi nemplok langsung molor. Mau nggak mau, Joshua terkekeh pelan dan memandang jendela pesawat lagi, diam nggak bergerak agar Mingyu bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya melayang ke percakapan mereka di bangku belakang taksi beberapa jam sebelum ini.
“Kalo nggak dapet tiketnya gimana, Gyu?”
“Ya kita pulang. Ato puter arah.”
Joshua menoleh. Mingyu juga. Mereka bertatapan.
“Laut banyak. Nggak harus ke Cebu juga.”
”...Hotelnya?”
“Mendarat, kita tuker duit sama beli wifi dulu aja. Kita cari hotel di Naver, ato Google, terus langsung ke sana.”
Gilakah mereka berdua? Apa hidup dari bandara ke bandara—sehari di negara A, besoknya sudah di negara B—membuat logika mereka agak rusak? Tanpa reservasi tiket pesawat, tanpa memesan kamar hotel, bahkan Joshua hampir lupa membawa passportnya karena terbiasa dibawa staff mereka setiap mereka terbang. Berbekal kartu kredit dan uang tunai seadanya (siapa sih memangnya yang bawa uang tunai banyak-banyak sekarang?), dua anak itu nekat melintasi lautan ke negara yang bahasa aslinya mereka berdua pun nggak paham.
“Oke...”
“Napa nih? Kok lo kayak nggak yakin gitu?” ringisan Mingyu seolah mengejek. “Apa nggak jadi nih, kita balik aja?”
Joshua buru-buru menggeleng. Mingyu menghela napas.
“Tenang aja, Hyung. Emangnya apa sih yang bakal kejadian di sana?”
Kembali pada kursi pesawatnya, Joshua berkedip. Pramugari nampak tengah mendorong kereta makanan di lorong kursi penumpang. Sebentar lagi waktu makan bagi mereka akan dimulai.
“Mingyu-yah...”
Kedikan bahu teramat pelan. Nihil respon.
“Gyu...? Bangun. Udah mau makan tuh...”
Kali ini, tangan Joshua mengelus sisi kepala Mingyu. Dielus-elus, bukannya risih dan terbangun, anak itu malah terlihat makin pulas. Mingyu mengusrek wajahnya ke bahu Joshua. Terkekeh, Joshua menaruh dagunya di kepala Mingyu.
“Mingyu...”
“Ng...”
“Bangun yok? Mau makan nggak?”
Erangan lagi. Karena posisi mereka, Mingyu bisa menghirup wangi parfum yang Joshua kenakan di lehernya. Dihidunya wangi itu dalam-dalam sebelum dia menghela napas panjang.
“Ngantuk...”
Joshua pun ketawa. “Ntar kan bisa tidur lagi,” dibantunya Mingyu bangun dengan mendorong kepalanya kembali ke sandaran kursinya sendiri. Si anak mengerang untuk ketiga kalinya. Kakinya yang panjang tersiksa dan badannya yang besar terasa pegal melungker seperti tadi. Mau ngulet puas juga nggak bisa. Kursi ekonomi sialan.
“Kita pulang jangan naek ekonomi lagi ya, Hyung, tolong banget nih...”
“Sisanya cuma ini, mau gimana,” kembali dirapikannya penampakan Mingyu, membuat si anak sedikit banyak nggak seperti orang baru bangun. “Ntar penerbangan pulang, kita pesen paling depan. Miles kita banyak ini.”
“Yee, kalo pake miles mah sekalian pesen suites nggak sih...”
“Cuma 4 jam, Gyu.”
Memperbaiki posisi duduk mereka persis ketika pramugari menanyakan apakah mereka mau bibimbap atau omelette, Joshua dan Mingyu pun kembali berperan sebagai idol untuk sejenak, mempertontonkan sisi terbaik mereka sebisa mungkin pada dunia, seperti biasanya.