Ch 1.5: Introduction

#haremhaohybrid

Minghao tidak menunduk ataupun mengalihkan pandangan. Sebaliknya, ia menatap bergantian satu persatu anggota klan karnivora di hadapannya perlahan-lahan, memetakan wajah mereka dalam ingatan. Sepertinya memang keberanian klan kelinci adalah sesuatu yang mendarah daging. Lima karnivora berbalutkan pakaian indah dari sutra mahal. Mereka tidak mengenakan kain warna mentereng ataupun hiasan yang tak perlu. Sederhana dari bahan berkualitas. Yang membedakan mereka dari tamu biasa adalah simbol klan masing-masing yang tersemat di kerah pakaian mereka.

“Senang sekali atas kehadiran kita semua di sini,” Kwon memulai, menjalankan tugasnya sebagai tuan rumah yang baik. “Malam ini adalah malam sepertiga rembulan. Malam yang tepat untuk mengenalkan anggota keluarga terbaru klan kami, adik dari suamiku, kelinci termuda, Xu Minghao.”

Tak ada anggukan, hanyalah tatap saling bersirobok antara sang kelinci dengan kelima lelaki itu. Tiada ciut. Tiada bimbang. Kekopongan? Mungkin sedikit. Sisanya adalah gurat halus kebencian dan rasa jijik. Para karnivora biadab yang telah mengoyak kebahagiaan kelinci-kelinci kecil naif yang hanya ingin hidup damai bertiga di pondok kecil mereka. Gurat yang, tentu, tertangkap oleh mata-mata jeli para karnivora.

“Kau seperti buku yang terbuka, Xu Minghao,” seseorang dari mereka angkat bicara, menekankan apa yang mereka semua telah ketahui. “Jika ingin menyelamatkan ekormu di dunia ini, sembunyikan rasa bencimu dari musuhmu, bukannya malah mengumbarnya seperti itu.” Kekehan, pelan menemani picingan mata di balik kacamata berbingkai bulat. Telinganya yang berbulu lembut mengacung agak tinggi di antara rimbun rambut yang berwarna kelam.

“Minghao, ini adalah Jeon Wonwoo dari klan rubah,” Kwon memotong untuk sekilas perkenalan. “Klan Jeon turun-temurun berkecimpung dalam bidang obat-obatan. Lalu, yang duduk di sebelahnya adalah Wen Junhui dari klan macan kumbang.”

“Hal yang perlu kamu ketahui dariku, Minghao, kalau lariku lebih cepat dari Soonie,” ringisan melebar—setengah pongah, setengah mengejek. Yang diejek mendecih. Ekornya menyapu lantai agak gelisah.

“Jangan menantangku, Jun-ah.”

“Menggertak, seperti biasanya.”

Seakan ada percik statis tercipta di antara tatapan mata keduanya. Dengan sebuah tepukan tangan kencang, Jisoo menengahi kedua karnivora tersebut. “Tolong jaga sikap Anda, Tuan Wen,” senyum sang kelinci manis, namun tutur katanya teramat dingin. “Anda berada di sini untuk adik saya, bukan untuk memancing murka suami saya.”

Menunduk, Jun mendengus, acuh tak acuh membuang muka. Jika Minghao tidak benar-benar memerhatikan, rona merah tipis yang membakar pipi Jun pasti akan dilewatkannya. Alis sang kelinci mengernyit, merasa aneh barang sejenak, walau ia mengabaikannya kemudian. Perkenalan pun berlanjut.

“Berikut adalah perwakilan dari klan beruang. Kim Mingyu, inginkah kau mengucapkan sepatah-dua patah kata?” sang kepala klan macan menyunggingkan senyuman ramah. Ia nampak memedulikan lelaki tersebut lebih daripada anggota klan lainnya, meskipun yang bersangkutan tetap diam dan hanya menggeleng. Ia memilih untuk memandangi Minghao dengan lekat, membuat sang kelinci merasa kurang nyaman.

“Bagaimana Anda bisa memenangkan hatinya jika hanya diam, Kim??” kekeh lelaki yang lebih muda di sebelahnya. “Lidah dan kata-kata adalah senjata paling berharga untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.” Desisan, terdengar menetesi tiap celah keheningan dari lidah yang bercabang.

“Tentu kau juga sadar bahwa mulutmu adalah harimaumu, Chan?” sahut lelaki lain di sisi satunya. Ia melipat lengan di dada, tak terpukau oleh gertak sambal barusan.

“Ah, Anda terlalu memuji saya, Tuan Choi,” bukannya terpelatuk, lelaki itu justru menyeringai sambil menunduk sedikit dengan tangan di dada. “Setidaknya mulut saya lebih beradab daripada kebiasaan main tangan Anda, bukan?” Lelaki yang dipanggil Tuan Choi bergerak, seolah akan beranjak dari duduk untuk menarik kerah pakaiannya dan membuat kerusuhan, namun lagi-lagi mereka ditengahi.

“Lee! Choi! Sudah cukup!” gelegar membahana keluar dari mulut Kwon Soonyoung. Minghao agak terkejut. Ternyata si macan itu bisa berwibawa juga jika situasi mengharuskannya. Keterkejutan Minghao pun berlanjut saat Kwon malah menoleh ke arahnya. “Adik ipar, maafkan kelancangan mereka. Ini Lee Chan dari klan ular dan Choi Seungcheol dari klan serigala.”

Minghao seketika bungkam. Matanya membelalak.

Klan serigala.

Klan yang mengambil Jeonghan dengan paksa. Klan yang memenjaranya, membuatnya menghilang dari dunia dan menyisakan sehela nama. Klan yang membuat dirinya dan Jisoo hanya bisa merindukan saudara tertua mereka hari demi hari. Klan yang telah membuat Jeonghan menderita.

Saat Minghao menatap wajah Choi Seungcheol, sang serigala menemukan kebencian berapi-api dalam kilatan matanya. Wonwoo sungguhlah benar. Xu Minghao adalah buku yang terbuka. Setidaknya, kakaknya, Jisoo, menyembunyikan angkara murkanya di balik senyuman lembut. Rasa-rasanya, Seungcheol ingin tertawa.

“Lagi-lagi seekor kelinci tanpa tata krama,” decaknya, sengaja memanasi emosi Minghao. Duduknya agak merosot dan kedua kakinya melebar; bagai Tuan Raja di atas singgasana emasnya. “Kuperingatkan saja, Xu Minghao, sekali kau membuatku marah, akan kumakan kau.” Taring runcing dipampang. Telinga berbulu hitamnya berkedut memperingatkan. Geraman rendah datang dari pangkal tenggorokan. “Aku di sini bukan untuk berkasih-kasihan denganmu seperti permintaan kakakmu itu. Aku di sini untuk membawamu ke klanku dan membuatmu melahirkan bayi-bayi serigala tanpa henti.” Lalu, dengan nada pongah dan dongakan dagu, Choi Seungcheol menantang Xu Minghao tanpa tedeng aling-aling. “Sebagaimana kau seharusnya berada, Herbivora.”

“CHOI!”

“Hao, jangan dengarkan ucapannya,” sigap, Jisoo menarik Minghao ke sisinya, membawa kepala anak itu bersandar ke bahunya. “Ingatlah bahwa klan ini akan selalu melindungimu.” Lalu, ia melirik tajam pada Seungcheol. “Bahkan bila aku harus mencekik semua yang menyakitimu dalam tidurnya malam ini.”

Seungcheol menyeringai. Kwon memotong, “Sayang. Tenangkan dirimu. Tidak baik berkata buruk, bayinya bisa mendengar.” Minghao diam, memejamkan mata untuk menikmati elusan halus tangan Jisoo pada rambutnya. “Nah, Minghao. Aku mau kau mendengarkan ucapan kakakmu, meski tolong abaikan kalimatnya yang terakhir.” Sang macan sendiri sibuk mengelusi punggung Jisoo, mengetahui bagaimana seriusnya kelincinya itu akan ucapannya barusan. Kemudian, helaan napas yang berat pun terlepas. “Choi, kumohon kendalikan emosimu. Klan serigala adalah aliansi berharga klan kami sejak nenek moyang. Bukan hanya itu, klan Jeon dan klan Wen pun berpikiran sama.”

“Saya pun,” gumaman perlahan Kim mengagetkan Minghao.

“Klan beruang juga nampaknya berpikiran sama,” Kwon menambahkan. “Kami akan menyesal apabila harus mengusirmu dari pertemuan terakhir ini. Kau tentu tahu, kan, konsekuensinya?”

Maksudnya teramat jelas. Klan serigala tengah panik karena kelinci yang mereka kira akan melahirkan banyak generasi penerus malah sama sekali tidak disentuh oleh anak kedua sang tetua. Choi Seungcheol sebagai yang tertua harus menanggung beban untuk mendapatkan kelinci termuda dan memberikan penerus secepatnya. Jika tidak, kaum serigala terancam punah. Mendecih lagi, ia, tetapi kali ini diam seribu bahasa. Kwon telah menyentilnya tepat di urat Achillesnya. Sang macan pun menghela napas lagi.

“Adik ipar,” tanyanya lembut pada Minghao. “Adakah anggota klan kami yang ingin kau kenal lebih baik saat ini?”