⏳️ 00:01
“Eh, gue tadi liat laki lo, Shua.”
Bulu mata Joshua mengerjap, mengalihkan fokusnya dari Jeonghan ke Seungcheol yang baru saja tiba. Mereka memang sepakat untuk bertemu di country club favorit Jeonghan setelah sekian lama. Dahulu, mereka adalah sahabat paling erat sejak kuliah. Sekarang, setelah masing-masing menikah dan menekuni jalan hidupnya, mereka hanya bisa bertemu jika sudah memblokir ketiga jadwal.
Waktu; tidak pernah menunggu siapa pun untuk berjalan bersisian dengannya. Ia akan terus melaju tanpa peduli akan dirimu.
“Oh ya?” Joshua merekahkan senyuman, meski jemarinya bergetar sedikit di bagian bawah gelas anggur dari kristal yang ia tengah pegang.
“Iya,” dan seolah tak sadar, Seungcheol lanjut bercerita. Ia mengangkat tangan memanggil pelayan, berniat memesan. “Gue kangen Hawaii kan, eh lupa kalo waktu itu pergi bareng dia.” Laut di kehidupan lampau. Laut yang masih jernih dan biru benderang ditimpa sinar mentari, berkilauan indah bagai surga di permukaan bumi. Laut yang menjadi dambaan mereka yang kini tersisa di masa depan.
Jeonghan mengunyah makanannya, menyimpannya di sisi pipi mirip hamster peliharaannya jaman kuliah dulu, “Yang pas dia masih naksir lo, Cheol?”
“Yoa~” Seungcheol terkekeh geli.
“Gyu mah semua ditaksir,” dengus Jeonghan. Ditelannya kunyahan sembari menusuk sepotong lagi perut babi panggang di piringnya—makanan segar: sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati kalangan elit ketika sisa dunia harus mengganjal perut dengan daging olahan dalam kaleng untuk bertahan hidup. Tapi, ah, tentu saja, ia adalah Yoon Jeonghan. Ia bahkan bisa membeli kepalamu jika ia mau. “Laki gue dulu juga kena.”
Masih tertawa, Seungcheol memesan segelas anggur merah berusia 20 tahun untuk menemani hidangan bistik daging has dalam dibakar setengah matang yang ia pesan. Begitu pelayan pergi, ia turut menyeloroh, “Iya, kecuali lakinya sendiri.” Lalu, ia mengedip pada Joshua.
Joshua hanya diam. Tidak goyah oleh ejekan yang terang-terangan dilontarkan kedua sahabat lamanya itu. Ia memotong ikannya sendiri dengan ketenangan seorang pastur yang tak tertarik memuaskan rasa jahil Seungcheol. Jeonghan kerap mengatakan bahwa Joshua terlalu kaku, terlalu tinggi mengangkat dagu dan berdiam diri bak boneka porselen cantik di rak pajangan toko barang antik. Manekin yang membosankan karena ia tak bisa menyulut emosinya semudah orang-orang lain. Joshua berterima kasih padanya akan pujian tersebut.
Tusukan garpu yang anggun. Lahapan kecil yang anggun.
“Dia ke mana, btw?” Jeonghan meneguk minumannya.
“Terra,” jawabnya. “Business trip tiga bulan.”
“Sama sekretarisnya lagi?”
Joshua diam.
“Y'no, kalo gue jadi lo, gue udah gampar tuh sundal karena ngerebut suami orang, terus gue tinggalin Gyu,” decak Jeonghan. “Gue nggak paham kenapa lo mau-mau aja digoblokin laki lo.”
“Dia bilang mereka cuma kerja. Nggak ada maksud lain.”
“Terus lo percaya?!”
“Jeonghan,” Joshua dengan cepat menyanggah. “Chill. Ini urusan gue sama Gyu. So, please.”
‘Jangan ikut campur’, tersirat tanpa perlu tersebut. Jeonghan kembali mendengus. Bagaimanapun, mereka semua adalah teman Mingyu juga. Suami Jeonghan mantan taksiran Mingyu dan Seungcheol pernah ditaksir Mingyu. Suatu kesatuan yang besar menghubungkan mereka semua bagai benang merah kusut yang terbelit erat, sulit diputuskan bagaimana pun caranya.
“Sejak tuh selingkuhan muncul, dia jadi berubah tau nggak? Ya kan, Cheol? Beda kan dia?” Jeonghan lanjut membahas Mingyu. Seungcheol pun mengangguk.
“Itu bukan selingkuhannya, Han,” Joshua mengingatkan.
“Ya terus apa dong?! Dibawa kemana-mana, bahkan ke pesta di Blue House?? Bukannya malah bawa lakinya??” gebrakan meja mengagetkan sekeliling mereka, mendorong Seungcheol untuk mengusap-usap punggung sahabatnya, mencoba menenangkannya.
“Udah, Hannie...”
“Sori... tapi gue kesel banget, Cheol. Dulu dia nggak gini kok... Gue juga nggak mau misuhin dia gini, dia temen gue...”
“Jeonghan,” menyeka mulutnya dengan serbet, Joshua membalik garpu dan pisau di atas piring, masih dengan ketenangan yang sama. “Mingyu temen lo. Seungcheol, juga. Jangan gegara gue kalian jadi musuhin Mingyu gitu. Dia nggak salah.” Kelopak mata Joshua turun sedikit. “Kalo...gue nggak masuk ke hidup Mingyu, ke hidup kalian, gue yakin dia bakal masih sama kayak yang dulu. Dia pasti sayang banget sama kalian. Please jangan jadi marah ke dia. Gue yang salah.”
“Apaan sih, Shua?!”
“Shua...”
Namun, ia mengangkat tangan. Sudah pengang mendengar terlalu banyak obrolan yang seharusnya berkisar antara bulan madu kedua Jeonghan dengan suaminya dan bagaimana Seungcheol dan suaminya melewati fase sebagai orangtua baru. Obrolan yang jauh lebih berbobot daripada membahas pernikahan gagalnya dengan Mingyu.
“Enough about me,” kemudian, lelaki itu tersenyum lembut, menumpangkan dagu ke kedua punggung tangan di atas meja. “Gue lebih pengen denger soal kalian. Nggak pa-pa kan?”
Senyuman itu begitu manis sehingga Seungcheol maupun Jeonghan tidak bisa tidak menurutinya. Senyuman yang sama yang selalu ia berikan pada suaminya kala ia ingin memutar topik perdebatan mereka dan berakhir dengan Mingyu menghela napas berat, berbalik badan dan pergi meninggalkannya sendirian.
Anggun. Dingin. Kaku. Semua terkontrol. Kepala batu. Lelaki cantik dari negeri salju.
Joshua Hong.
Suami yang dinikahkan pada Kim Mingyu oleh keluarganya secara paksa tanpa persetujuan dirinya sendiri. Suami yang takkan pernah diakuinya sebagai suami sampai ia mati nanti. Joshua hanya bisa menggigit pipi bagian dalamnya. Ia terlahir kuat secara batin. Ia bisa hidup tanpa cinta dari suaminya sama sekali.
Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.
Yang penting, ia memiliki Mingyu secara sah tertulis dalam akta negara.
Tidak apa-apa.