1. Meet
Seungkwan masang ekspresi jijik, Mingyu meringis jahil sedangkan abang barunya menaikkan satu alis, lebih ke arah penasaran daripada terganggu. Tetiba saja bel pintu berbunyi dan Mingyu masuk seolah dia di rumahnya sendiri, padahal malam sudah cukup larut.
“Siapa nih?” sambil melipat lengan telanjang di dada, si abang bertanya. Suaranya halus dan lembut. Mingyu bersumpah kerjapan bulu matanya mengandung makna lain yang nggak asing bagi dia. Oke good, dia naksir gue juga.
(“Kepedean banget lu anjing,” seloroh Seungkwan setelahnya.)
“Temen Kwan, Bang...,” Seungkwan membelalak ke arah Mingyu dengan peringatan kentara agar temennya itu nggak bikin malu. “Namanya Kim Mingyu.”
“Gimana kalo kapan-kapan kita jalan bareng, Cantik?”
Mingyu meringis makin lebar. Anak itu bahkan maju mendekati si abang dan tanpa tedeng aling-aling memenjara cowok cantik itu di antara dirinya dan tembok rumah keluarga Choi. Lengannya yang berotot—nampak jelas dari balutan kaus hitam pas badannya—bertengger santai di sisi wajah si cowok, sengaja memamerkan aset yang memang menjadi andalan Kim Mingyu untuk mendapatkan gebetannya, sedangkan satu tangan naik merenggut dagunya.
“Lo cantik banget. Gue nggak pernah ketemu cowok secantik lo,” bibirnya mendekati bibir si abang. “Tidur sama gue semalem, mau?”
“KIM MINGYU!” horor terplester di raut Seungkwan. Keterlaluan temennya itu! Gimanapun rusaknya keluarga Seungkwan, dia nggak mau kalau hubungannya dengan saudara tirinya berantakan karena ulah temennya yang lagi birahi begitu!
Tapi, alih-alih marah, si abang malah balas menggoda. Bibir merahnya tertarik membentuk senyuman yang nggak kalah liciknya dari bocil yang lagi kabedon dia saat ini.
“Berapa?”
“Hmm?”
“Lo berani bayar berapa?” si abang menantang, berbisik di bibir Mingyu. “Tidur sama gue mahal. Kalo lo tajir, gue bisa masukin lo ke WL.”
Lalu, jari telunjuknya menoel dagu Mingyu, sebelum turun perlahan membentuk garis vertikal panjang dan berhenti tepat di atas perut bawah si anak, sekitar tali celana dalam Mingyu yang memang sengaja dipampang ke mata dunia. Napas anak itu tercekat, menanti entah apa yang akan dilakukan si abang berikutnya.
Ternyata yang dilakukan berikutnya adalah merenggut kasar rambut Mingyu sampai si anak berjengit agar telinganya bisa dibisiki, “Jangan maen-maen sama api, Bocah, mending pulang, cuci kaki dan tidur sana.”
Kemudian, si abang mendorong Mingyu hingga doyong, sebelum menoleh ke Seungkwan yang hanya bisa melongo menyaksikan sisi lain abang barunya yang belum pernah dia temui selama 6 bulan belakangan ini, “Jangan bawa temen aneh lo kayak gini lagi ke gue ya.” Senyumannya begitu manis membuat Seungkwan bergidik, langsung berkali-kali mengangguk.
Setelah si abang berlalu santai, Seungkwan dengan kesal menendang tembok di sebelah kaki Mingyu yang jatuh terduduk ke lantai. “LO DAH GILA APA?” amuknya. “APA-APAAN TADI, KIM MINGYU?!”
Mingyu memegangi dada, bagian sekitar jantungnya. Matanya mencerah dan mulutnya lebar membuka membentuk senyuman.
“Boo,” hembusnya. “Kayaknya gue beneran naksir abang lo...”