Beberapa detik kemudian, handphonenya mulai berbunyi. Masih terpana, Jeonghan dan keluarganya tetap lihat-lihatan, mata membelalak dan mulut terbuka. Ibunya menutup mulut dengan tangan, sedangkan adiknya mencengkeram kedua pundak Jeonghan.
Ketika handphonenya berdering untuk yang ke lima kalinya, barulah dia sadar dan mengangkatnya.
Tersebutlah suatu negara nun jauh di sana. Negara yang langitnya hampir selalu biru, penduduknya sering tersenyum dan pantainya sungguhlah indah. Negara yang jauh dari negara bernama Korea Selatan, tempat lahir salah satu karakter utama cerita kita kali ini.
Mini market emang penyelamat kaum masa depan bangsa deh. Nggak cuma nyediain mi instan dan roti Mr. Bread pas kepepet, even Gilette sama kancut sekali pake juga ada di sini.
Langit begitu benderang karena mentari tersenyum amat lebar hari ini. Bagaimana tidak? Bila seekor kelinci cantik tengah berjemur di bawah naungannya, kedua telinga panjangnya kuyu oleh kedamaian. Helai rambut diacak angin semilir yang juga membawa harum bebungaan musim panas. Merah darah, jingga terang, kuning menyengat—bergerombol membentuk sebuah bingkai indah untuk makhluk yang sama indahnya. Dengan bibir mekar merona dan bulu mata hitam yang lentik, Xu Minghao bagaikan setangkai bunga cantik...
Hari itu adalah hari yang tidak biasa, bahkan bagi para klan macan. Bagaimana tidak? Ketika seluruh perwakilan klan karnivora terkuat berkumpul di rumah tetua mereka.
Ah, harus dimulai dari mana cerita ini?
Baiklah. Mungkin seperti manusia, kan kumulai dari cuaca.
Kerjap-kerjap mata si kelinci kecil, membulat dalam ketidak pahaman. Kakak sepupunya, Jisoo, menggandeng tangannya yang mungil. Berusia 8 dan menyaksikan pernikahan sosok kakak yang rasanya baru kemarin bermain petak umpet bersamanya mengundang telengan kepala si kelinci.