3. I wonder if you feel the same
”...Keluar dari grup?”
“Mm,” Seungcheol mengangguk. Kedua lengan melipat di dada. Alisnya mengerut dan bibirnya mengerucut, jelas nggak suka sama kabar yang dia dengar dari manajemen. “Mereka berdua bilang kalo udah nggak mau lanjut lagi. Katanya juga sampe nangis...” Gamitan jari-jemarinya mengerat pada kaus putih yang dikenakannya. “Tapi untungnya nggak jadi. Abis ditenangin dan diminta pikirin baik-baik, akhirnya manajemen bantu cari jalan keluar dan mereka nggak jadi pergi.”
Mingyu terduduk. Kepala tertunduk. Rasanya isi kepalanya campur aduk. Perputaran member seperti ini tuh sudah biasa, bukan sesuatu yang perlu mereka besar-besarkan, meski dengan kepergian tiap member, mereka mundur satu langkah karena debut mereka alamat diundur lagi.
Semakin banyak yang keluar, semakin jauh mereka dari impian debut. Sebuah pertaruhan yang terlalu besar bagi para member, khususnya yang sudah lama berada di agensi. Seungcheol, Jihoon, Soonyoung, dan dirinya...
“Jangan sebut-sebut soal ini di depan mereka berdua. Paham, Soonyoung-ah?”
Ucapan Seungcheol membuat Mingyu kembali tersadar. Dia lalu memutar kepala perlahan, menatap Soonyoung yang sepertinya bakal meledak sebentar lagi. Dia selalu begitu. Emosional. Omongan nggak pakai filter. Semua yang keluar grup dianggapnya pengkhianat, tapi di sisi lain dia juga nggak mau ada orang-orang yang nggak sesuai standar berada di grup: yang malas, yang niat menjadi idolnya kurang, yang menyepelekan kesalahan-kesalahan kecil, yang melanggar peraturan dengan pacaran sama fans. Orang-orang yang berpotensi akan menyeret grup mereka ke liang kubur.
Soonyoung mempertaruhkan banyak hal untuk debut. Begitu pun Seungcheol dan Jihoon. Mingyu? Mingyu nggak merasa begitu. Ibunya sendiri bilang kalau sampai dia berhasil jadi penyanyi, maka anjing pun bisa nyanyi, alias Mingyu nggak diharapkan debut oleh orangtuanya. Mereka hanya membiarkan putranya menekuni apa yang menarik minatnya, selama pendidikannya tetap jalan. Kalau dia gagal jadi idol, dia bakal balik main sepak bola lagi atau meneruskan latihan merajutnya. Kim Mingyu tipe yang bisa sukses apapun bidang yang dia putuskan untuk tekuni.
“Orang yang udah pernah nyerah sekali kayak gitu,” Soonyoung menendang meja rendah tempat mereka biasa makan. Mingyu terlonjak kaget. “Nggak ada jaminan mereka nggak bakal nyerah buat kedua kali!”
“Kwon Soonyoung!” Seungcheol juga menaikkan nadanya.
Mingyu gelisah. Dia nggak suka ketika mereka bertengkar kayak gini. Di satu sisi, dia paham kalau Soonyoung cuma mau yang terbaik buat mereka semua. Di sisi lain, dia juga kesal karena Soonyoung menuduh Jeonghan dan Joshua akan berusaha meninggalkan mereka lagi.
...
Hela napas. “Capek, Wonu-hyung...,” Mingyu senderan ke bahu Wonwoo yang duduk di sebelahnya sedari tadi dalam diam. Wonwoo pun tertawa pelan.
“Kayak gini kan udah biasa,” selorohnya. Dia kembali memandang Soonyoung dan Seungcheol yang kini bersilat lidah. “Dia selalu mikirin nasib kita semua, Mingyu-yah. Biarpun emang lidahnya tajem, perfeksionis pula... Nggak keitung Seokmin-ah ngadu ke gue berapa kali gegara Soonie.”
“Stop ketawa, anjir,” Mingyu mengernyitkan alis. “Udah mau bunuh-bunuhan itu berdua.”
“Gak lah,” Wonwoo meringis. “Kalo nggak ada Soonie, Cheol juga nggak bakal bisa lanjut.”
“Kalo denger lo manggil namanya nggak pake embel-embel, bisa dipiting lo, Hyung.”
“Hah. Nggak takut~“
Mingyu mendengus, lalu terdiam. Abai akan huru-hara yang makin memanas di hadapannya, pikiran anak itu melayang ke kalimat yang diucapkan Seungcheol sebelumnya: Joshua. Nangis.
....
Sigh.