1.

#gyushuabakery

Panas.

Jika boleh jujur, pulang ke Korea setelah lima belas tahun melupakan tanah kelahirannya tidak berarti apa-apa bagi Joshua Hong. Tidak ada rasa rindu yang berdesir dalam dadanya. Meski ia senang bisa memeluk orangtuanya lagi dan menatap senyum ibunya langsung tanpa bantuan kamera, selain itu, tak ada perasaan spesial apapun terbersit di hatinya.

Ia tidak pergi dengan berat hati. Sebaliknya malah. Jantungnya berdegup kencang dalam ketidak sabaran untuk segera menata masa depannya di Amerika.

“Josh bisa tinggal bersamaku,” ia ingat perkataan bibinya, adik sang ibu, ketika mereka membahas keinginan Joshua untuk sekolah ke luar negeri. “William dan anak-anak kami sangat menyayangi kalian. Dia pasti senang ketambahan anak satu lagi! Jadi jangan khawatir, Kak!” Dalam derai tawa riang, bibinya itu menawarkan sebuah akomodasi semi permanen yang sulit ditolak ibunya.

Maka, bertolaklah anak tunggal keluarga Hong di usia ke-18 yang masih segar-segarnya ke Los Angeles, Amerika. Naif, dan ditendang ke jurang budaya yang begitu berbeda dengan sudut pandang Korea Selatan yang diasupi padanya sejak balita, ia bagai anak ayam kehilangan induknya. Namun, Joshua masih beruntung karena keluarganya di Amerika membimbingnya untuk menjalani kehidupan di sana.

Satu tahun tak terasa menjadi empat. Joshua lulus dan tidak kembali, melainkan melamar ke perusahaan yang bergerak dalam bidang properti. Kemampuannya menjual rumah dengan menyenangkan hati para kliennya membuatnya menaiki jenjang karir dengan begitu mulusnya, sehingga ia dicap sebagai Ace dalam perusahaannya. Entah itu hal yang baik atau buruk, karena status Ace itulah, ia ditugaskan untuk menjadi pemimpin proyek terbaru mereka—sebuah mall besar di Korea.

Tepatnya, di jalanan pertokoan dimana toko roti orangtuanya berdiri bahkan sebelum mereka menikah.


Joshua mengernyitkan alis. Peluh membanjiri kening hingga bagian belakang kemejanya. Jasnya tersampir di sebelah lengan. Ia berdiri persis di depan pintu bertuliskan We're Open dalam huruf sambung berwarna merah. Suara jangkrik memenuhi rongga telinganya, mengisi pikirannya yang tengah kopong.

Masuk? Jangan?

Keraguan kah? Yang menahan kakinya berjalan menempuh jarak yang begitu sedikit antara dirinya dan seluruh masa kecilnya? Ataukah, mungkin, rasa bersalah?

“Selamat datang!”

Tidak sempat dirinya menentukan pilihan, pintu itu keburu dibuka oleh seorang...laki-laki. Tinggi besar dan berkulit kecoklatan. Ia tersenyum ramah, kontras terhadap Joshua yang memandangnya seolah ia hantu. Lelaki itu tidak memedulikan tatapan tersebut, malah berbicara pada Joshua seramah senyumannya.

“Kalau ragu mau beli apa, boleh lihat-lihat dulu. Rotinya seger-seger lho. Fresh from the oven~“

“Nggak, aku—”

”...Shua?”

Yang dipanggil menoleh. Oh. Hatinya mencelos kini.

“Shua...? Ini beneran kamu, Nak? Kamu...kamu pulang...?”

Dalam balutan celemek dan gaun putih, dan rambut hitam cepolan yang sudah dipenuhi uban, wanita itu berjalan perlahan dengan mata berkaca-kaca.

”...Shua?” si lelaki berkulit cokelat menaikkan alis. Ia pernah dengar nama itu. Sering, sejujurnya. “Shua itu kalo nggak salah yang—”

“Mama...”

Wanita itu berlari. Dengan cepat parasnya mencerah, meski pipinya basah oleh linangan air mata. Joshua tidak bergerak dan membiarkan ibunya itu memeluknya erat. Ia tidak ingin menangis. Tidak akan menangis. Usianya 33 tahun kini, tidak pantas untuk masih menangis dalam dekapan sang ibu. Ia tidak akan—

Dilihatnya tangan ibunya yang menangkup pipinya. Begitu kecil dan rapuh, penuh keriput karena sering bekerja. Tangan seorang ibu yang telah dimakan umur dan entah sampai kapan umur itu tetap terbuka.

“Hng—”

Ah, persetan. Usia 33 pun, di depan orangtua, hanyalah anak kecil semata.