3.

#gyushuabakery

“Ada apa ini?”

“Papa...”

Bila ibunya langsung berlari memeluknya, reaksi ayahnya justru sebaliknya. Lelaki yang sela rambutnya telah ditumbuhi uban dan keriput menghiasi wajah tampannya itu tertegun saat menemukan anak semata wayangnya berdiri di toko roti mereka tanpa kabar sebelumnya.

“Oh...,” tasnya jatuh ke lantai. Kedua tangannya yang terangkat pun gemetar kala mengelus pipi Joshua. “Oh...anakku...”

Sekali lagi, haru biru menyelimuti benak Joshua, namun tidak seperti sebelumnya, suasana tersebut dengan cepat dihancurkan oleh gumaman lelaki asing yang baru saja mencari ribut dengannya.

“Bos, dia pulang cuma buat ngebujuk Bos jual toko ini dan pindah,” dengus lelaki itu. “Nggak usah terlalu seneng gitu.”

Kening ayah Joshua kemudian mengerut. Ia melepaskan pelukannya dan melihat bergantian ke arah Mingyu dan putranya. Joshua melotot ke arah Mingyu, sedangkan Mingyu membuang muka seakan tidak baru saja menjatuhkan bom dan angkat tangan detik itu juga.

”...Menjual?”

”...Pa, Ma, duduk dulu yuk? Shua bisa jelasin.”


”...Jadi, kalo kita itung prospek penjualan dalam lima tahun ke depan dari lingkungan sekitar, maka laba yang bisa diterima toko ini akan berkurang terus-terusan. Menurut hasil survey perusahaan kami, jumlah penduduk usia muda di daerah ini terus turun. Mereka pindah ke kota besar, ninggalin hanya generasi tua dan sedikit anak-anak. Konsumen toko roti kita pun bakal turun. Kalo nggak ada regenerasi, area ini pelan-pelan bakal mati,” Joshua menunjukkan beberapa pamflet mengenai rancang bangunan. “Jadi, daripada nunggu bangkrut dan akhirnya tutup, menurutku mending kita jual toko ini mumpung harga tanahnya masih cukup bagus dan pindah ke tempat lain yang lebih rame. Nanti di sana kita bisa buka toko roti lagi yang prospek labanya lebih besar. Nah, area ini bakal diubah kayak gini sama perusahaan kami. Jalanan ini bakal kita rombak jadi area wisata, supaya generasi muda tertarik liburan ke sini dan ningkatin ekonomi daerah.”

Dengan bersemangat, Joshua lalu meneruskan lobinya.

“Nggak cuma itu, kita juga rencana mau bangun kondominium, sekolah, gedung perkantoran, pusat kuliner, department store, juga taman yang indah. Area ini perlu dibangun lagi supaya kembali hidup. Diratakan dulu semua dan mulai dari awal lagi. Nanti, kalo udah hidup lagi, kita bisa pindah ke sini lagi. Aku bakalan cari cara supaya kita bisa beli rumah dan toko dengan harga bagus.”

Ia mendongak. Senyumnya berseri-seri karena masa depan area ini yang direncanakan oleh perusahaan tempatnya bekerja sesuai dengan apa yang ada dalam bayangannya. Area ini hampir pasti mati bila orang-orang sepertinya tidak datang dan merevitalisasi semua.

Namun, yang ditemuinya hanya raut lelah ayahnya, kesedihan ibunya, juga kegeraman lelaki bernama Mingyu yang berdiri persis di belakang ayah Joshua.

“Lo,” tunjuk Mingyu. “Keluar.”

“Hah?”

“Gyu, stop...,” ibu Joshua mencoba menenangkannya.

“NGGAK DENGER YA? GUE BILANG KELUAR! KELUAR ATO GUE PAKSA LO—”

Kim Mingyu.”

Hanya sepatah kata, namun ketegasan nada ayahnya sanggup membuat lelaki besar dalam angkara itu berhenti. Kepalanya tertunduk dan dibuangnya muka. Tangan mengepal kencang hingga berurat, menahan diri untuk tidak menonjok pemuda yang mengaku sebagai anak tunggal pasangan Hong tersebut.

“Nak...inikah masa depan yang kamu liat akan toko kita?”

Joshua kebingungan meski ia perlahan mengangguk. Sang ayah menghela napas. Ia kemudian memerhatikan lembaran-lembaran yang ditunjukkan Joshua. Dalam hatinya, ia merasa sedih karena putranya sendiri tidak melihat apa yang ia lihat dalam benaknya. Dalam kepalanya, benang kusut nan rumit.

“Biarin Papa pelajarin dan pikirin dulu ya?” pada akhirnya, lelaki itu tersenyum. Bagaimanapun, yang di hadapannya saat ini adalah anak semata wayang yang telah dinanti-nanti oleh dirinya dan istrinya. “Papa nggak bisa kasih jawaban secepet itu. Boleh kan?”

Wajahnya mekar oleh cahaya dan ia buru-buru mengangguk berkali-kali. “Boleh! Nanti Papa kabarin aku aja! Aku nginep nggak jauh dari kota ini. Nanti aku ke sini lagi kapan-kapan, sekalian ku mau ke toko-toko tetangga juga,” berkata begitu, ia mulai membenahi dokumen di atas meja.

“Kamu nggak nginep sini aja, Nak? Kamar kamu kan ada...,” ibunya angkat bicara.

“Eh? Nggak ah, kesempitan. Aku perlu meja juga buat kerja,” jawabnya sambil lalu. “Nggak pa-pa kok, Ma, kalo mau dijadiin ruangan lain. Toh aku juga udah nggak tinggal sini.” Joshua lalu memberikan kartu namanya ke ayahnya. “Nomer hp kantorku yang ini ya, Pa. Nanti info aja ke nomer ini, jangan ke nomer pribadiku, soalnya buat pertanggung jawaban ke kantor.”

Lalu, semendadak ia muncul, Joshua berpamitan pergi setelah ia menolak juga tawaran ibunya untuk makan malam di rumah. Ayah dan ibunya hanya bisa menatap punggung anak mereka dengan sedih.

“Dulu dia nggak begini...,” desah ibunya.

“Udahlah, Ma, anak kita udah gede. Mungkin ada hal yang lebih penting buat dia sekarang, bukan orangtuanya lagi...”

Ibunya mulai menangis dan ayahnya hanya bisa memeluk istri tercintanya. Mingyu menyaksikan itu semua dalam diam dengan kebencian membengkak di dadanya. Dua orang yang selama ini telah begitu baik pada Mingyu yang bukan siapa-siapa disakiti oleh darah daging mereka sendiri. Anak yang selalu mereka banggakan pada Mingyu dan orang-orang.

Joshua Hong.