Saat ia tersadar, bulan telah menggantung di langit. Gesekan sayap jangkrik memenuhi malam di musim panas tersebut. Mingyu bangkit ke posisi duduk sambil memijat lehernya yang pegal. Dedaunan tebal menjadi alas pengganti kasur di bawahnya, begitu juga selimut dadakan. Benar juga. Ia tidak memakai baju ketika berubah dari wujud aslinya ke tubuh manusia. Selimut dan alas tidur itu pasti dipakaikan Minghao kepadanya agar ia tidak masuk angin.
Wonwoo tidak tahu. Tidak kenal. Sama sekali tidak ingat pernah melihat wajah itu. Lagipula, ia baru melihat makhluk halus semenjak mereka pindah ke desa ini. Sebelumnya...tidak, tidak ada ingatan serupa.
Dewa Gunung sejenak memampangkan seringai mengerikan, walau detik kemudian berubah menjadi senyuman lebar seakan ia tak berbahaya sedikitpun. Well, memang tidak sih, selama tidak dipancing amarahnya. Sepertinya melihat kedatangan Jihoon membuat sang Dewa berwelas asih, karena gumpalan awan serta merta berarak menutupi mentari, membuat suasana berubah sejuk, menyegarkan mereka dari serangan panas yang menyengat sepanjang perjalanan.
“Jeon Wonwoo,” rubah itu memanggil lagi. Hari ketiga ia di sini. Atau sudah ke lima? Wonwoo tidak tahu. Semua terasa kabur. Rasanya sudah seminggu, tapi juga seperti baru setengah jam. Rasanya tidak mungkin ia bertahan tanpa ke toilet dan mandi, tapi selain pusing karena kelaparan, ia tidak merasakan urgensi akan kebutuhan primernya. Aneh sekali.
Sang rubah meniup-niup tiga potong inarizushi yang masih panas. Barusan saja ada yang berdoa ke kuil Rubah di dunia manusia dan membawakan sesajen inarizushi. Ia pun tersenyum senang. Inarizushi adalah makanan manusia kesukaannya, yang kedua adalah tahu sutra digoreng dengan sedikit tepung. Nikmat sekali.