54.

#wwnatsume

Saat ia tersadar, bulan telah menggantung di langit. Gesekan sayap jangkrik memenuhi malam di musim panas tersebut. Mingyu bangkit ke posisi duduk sambil memijat lehernya yang pegal. Dedaunan tebal menjadi alas pengganti kasur di bawahnya, begitu juga selimut dadakan. Benar juga. Ia tidak memakai baju ketika berubah dari wujud aslinya ke tubuh manusia. Selimut dan alas tidur itu pasti dipakaikan Minghao kepadanya agar ia tidak masuk angin.

Minghao.

Sekelebat ingatan memastikan dirinya bahwa Minghao baik-baik saja. Ia pun kemudian berdiri, secara refleks berjalan tertatih untuk menemukan sang Kappa, ingin memastikan bahwa ia benar baik-baik saja, bahwa mangkuknya kini telah penuh terisi air dan ia takkan mati dehidrasi. Rerumputan yang ia injak bergemerisik di antara riuhnya bunyi jangkrik. Nyanyian katak ikut menyelip di antaranya, sementara, di sekeliling Mingyu, kunang-kunang berseliweran dengan cahaya kuning lembut di ujung pantat mereka, menjadikan suasana malam itu makin syahdu. Suara air berkecipak terdengar ketika Mingyu semakin dekat dengan kolam sang Kappa. Ia menyibak selembar daun lebar yang besar.

Lalu, napasnya bagai terhenti.

Jantung Mingyu berdebar kencang hingga bunyinya memekakkan telinga. Padahal, ini bukan pertama kalinya. Bukan pula pemandangan baru. Namun, berdiri di sana di tengah kolam, telanjang bulat, dengan bagian pinggul ke bawah tertutup air, disinari kerlap-kerlip kunang-kunang, Minghao nampak seperti peri. Kappa itu meraih air dengan kedua tangannya yang tertangkup, lalu menumpahkan air itu ke dadanya. Mingyu meneguk ludah. Air pun mengalir, menuruni kulit yang putih serta puncak dadanya yang menonjol, kecil dan imut dan—dan—

Tahu-tahu saja, ia sudah berada di dalam air juga, menempelkan tubuhnya ke tubuh sang Kappa dari belakang. Alih-alih terkejut, Minghao hanya menghela napas. “Inugami...,” keluh Minghao. Kedua tangan Mingyu yang besar perlahan mengelusi kedua pahanya. Kulit Kappa terkenal licin dan halus, mirip kulit ikan. Ekor Minghao yang mungil menjuntai seperti tunggir ayam tanpa bulu, menggesek perut bagian bawah Mingyu yang sensitif. Cangkangnya entah di mana, tidak dikenakannya.

Sang siluman anjing sibuk mengendusi tengkuk dan sisi leher sang Kappa. Biasanya bau Kappa adalah bau lumut dan amis. Tetapi, kali ini berbeda. Ada bau sesuatu, entah apa, sangat harum dan merasuk, menggugah dirinya. Tak sabar. Telapak tangan pelan menelusuri kulit mulus. Bunyi endusan, intensif dan mencari, mencari; penasaran.

(Endus endus endus)

“Mingyu...,” Minghao sukarela memiringkan kepalanya agar Mingyu bisa melekatkan hidungnya di sana. “Gue lagi mandi...”

Siapapun yang mengintip Kappa ketika sedang mandi, akan dimakan sampai tak bersisa.

Jilatan. Panjang dan lunak, basah pada tengkuknya. Seketika itu juga, bulu kuduk sang Kappa berdiri. Dada Mingyu kokoh di punggungnya. Luka yang disebabkan oleh angin Kamaitachi telah tertutup karena energi Minghao kembali lagi, namun bekasnya masih ada dan terasa kasar di dada Mingyu, mengingatkan siluman itu akan apa yang telah dialami sang Kappa akibat kelalaiannya semata. Ingin Mingyu menjilati seluruh tubuh Minghao dalam wujud aslinya, menutup segala luka yang dideritanya saat berhadapan dengan Kamaitachi, namun saat ini, ia sudah cukup puas dengan menjilati leher jenjang itu, seolah ia sanggup mencicipi lezatnya aroma di sana dengan melakukan itu.

Sang Kappa, mulai melemas, menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Mingyu. Ia bisa merasakan ada yang mendesak bokongnya, menetap di sana, di antara kedua tubuh. Karena tangan Mingyu terus saja mengelusi pahanya, maka Minghao berpegangan pada lengan-lengan besar itu. “Mmh-ah...,” erangan lembut terlepas dari bibir sang Kappa. Tubuhnya mulai memanas. Ia mulai terangsang oleh sentuhan-sentuhan siluman anjing tersebut.

“Hao...,” geraman rendah terdengar. Pupilnya mengecil, menyusutkan fokusnya hingga otaknya hanya punya satu kata yang melayang-layang di dalam kepala: bayi. Sebuah insting untuk melanjutkan keturunan. Tak kunjung lepas ia menghirup dalam-dalam wangi tubuh Minghao, mengambilnya sampai ia puas. “Hao...”

“Jangan-jangan, siklus rut lo...?” Minghao menoleh.

(“Emang nggak ada cara lain, Hao?”)

(“Ada sih.”)

Begitu ia menoleh, bibir Minghao ditekan paksa oleh bibir lain. “Ngh—” ciuman yang dengan cepat berubah mendalam. Ini bukan sentuhan bibir seperti tadi, ketika ia mencoba menyelamatkan Mingyu. Ini sesuatu yang sama sekali baru. Perpaduan antara ketergesaan dan nafsu, juga keinginan untuk mendominasi. Bagai prajurit yang mempunyai hanya satu misi.

“Gyu...,” ciuman pun lepas, untuk satu-dua detik saja, karena Mingyu memutar tubuhnya lalu kembali menciumi sang Kappa di dalam pelukan. Harum itu merusak akal sehatnya, juga lidah Minghao pada lidahnya, geligi yang terkadang saling terantuk dan bibir yang merekah penuh, nikmat untuk digigiti, berbeda jauh dari bibir kering sebelumnya.

“Ah...,” di ujung lidah mereka berdua, ada benang liur tercipta. Minghao menarik kepalanya hingga benang itu putus, lalu menjilat bibirnya sendiri. Napas mereka berdua mulai terengah, apalagi Mingyu yang dengan cepat memasuki masa rut-nya. Aneh sekali. Padahal ia yakin hari ini belumlah siklusnya.

“Hao,” ekor tak kasat mata Mingyu mengibas-ngibas kencang. Ditangkupnya pipi dan disekanya bibir Minghao dengan ibu jari. “Please...?

Pecah. Suaranya. Pertahanannya. Koyak, oleh bibir lembut di bawah sentuhannya itu. Oleh kulit mulus dan pinggul yang seksi. Oleh kulum senyuman di wajah cantik itu.

Oleh sang Kappa, dengan mata sejernih langit di malam musim panas serta wangi yang membuatnya limbung.

(“Kalo nggak kita makan, ya kita kawinin.”)

“Gyu, do it,” perintahnya.

And he did.