33.
“Jeon Wonwoo,” rubah itu memanggil lagi. Hari ketiga ia di sini. Atau sudah ke lima? Wonwoo tidak tahu. Semua terasa kabur. Rasanya sudah seminggu, tapi juga seperti baru setengah jam. Rasanya tidak mungkin ia bertahan tanpa ke toilet dan mandi, tapi selain pusing karena kelaparan, ia tidak merasakan urgensi akan kebutuhan primernya. Aneh sekali.
Sepanjang mata memandang, hanya ada padang bunga. Tak ada makhluk hidup lain. Tak ada pohon. Tak ada apapun.
Dunia sang rubah yang begitu sepi.
Pemikiran itu putus ketika sang rubah duduk di hadapannya, membawakan air segar dalam daun yang dilipat seperti perahu. Melihat air itu, barulah Wonwoo merasakan haus. Mendadak tenggorokannya begitu kering bagai padang pasir. Tanpa berpikir lebih jauh, ia menyambar daun itu dan meneguk airnya begitu cepat, ia hampir tersedak.
Sang rubah terkekeh melihat itu. “Pelan-pelan,” gumamnya, sambil mengelus kepala Wonwoo. Yang dielus tidak sadar sampai air itu pun habis dan ia mendesah puas. Lega oleh air yang dingin dan nikmat. Ia kemudian sadar kalau sang rubah mengelus kepalanya dan segera ia menepisnya dari sana.
“Aku memetik buah mulberry,” sang rubah tidak memasukkan ke hati perbuatan kasar Wonwoo barusan. Ia menarik keluar serenceng mulberry yang masih tergantung di ranting kecil dari lengan kain bajunya. Buahnya besar dan nampak padat, sepertinya manis. Wonwoo meneguk ludah, yang tak luput dari sang rubah. “Makanlah. Kamu belum makan. Aku cemas kamu nanti sakit.” Meski sang rubah tidak lagi menyentuhnya, ia merasa pandangan mata rubah itu padanya bagai belaian lembut. “Belum ada yang membawa sesajen lagi. Maaf ya. Kuilku semakin sepi pengunjung selama puluhan tahun belakangan.”
Kali ini, Wonwoo menerima ranting mulberry tersebut, meski tetap diam. Ia hanya mendengarkan rubah itu bercerita.
“Dulu, sampai ratusan tahun lalu, kami begitu dipuja. Setiap hari, ada saja yang menaruh sesajen untuk kami. Kami rubah termasuk salah satu dewa gunung dan sawah. Kami memburu hama yang mengganggu tanaman mereka. Bahkan mengusir babi hutan liar yang menyerang penduduk yang melintasi gunung tanpa niat mencelakakan penghuninya. Mereka berterima kasih pada kami. Aku ingat, orangtuaku pernah menerima banyak sekali inarizushi sampai perutku kenyang sekali.”
Jeon Wonwoo adalah anak yang selalu ingin tahu. Penuh tanda tanya. Mengetahui kelebihannya, ia bukannya takut, malah memanfaatkannya untuk lebih mengenal Jeonghan, yang kemudian membawa hidupnya ke sini, dimana sehari-hari ia berkawan dengan para makhluk halus di desa tempatnya tinggal. Maka, jika ada yang akan ia salahkan untuk perbuatannya berikutnya, ia akan menyalahkan rasa keingin tahuan tersebut, karena ia tidak bisa menyetop bibirnya untuk tidak bertanya,
“Kemana orangtuamu?”
Sesaat, tatapan sang rubah menjadi sendu. Senyumnya sangat menyedihkan, membuat jantung Wonwoo, entah kenapa, miris melihatnya.
“Mati.”