29.
“Ahh...”
“Ahh...”
Oleh harum bebungaan, Jeon Wonwoo terbangun. Dengan erangan, diusapnya kedua mata. Rasanya seluruh tubuh lemas dan berat. Ia tidak tahu hari dan tanggal berapa sekarang, sense of time-nya telah kacau.
Berapa hari ia tak sadarkan diri? Entah.
Di mana dirinya?
“Tapi itu nggak mungkin!”
Minghao marah. Sudah berbaju sekarang, Kappa itu menyilangkan kakinya dengan anggun. Kedua lengannya pun melipat di dada.
“Halah pler, nggak sengaja dari Hong Pong,” makin jadi lah dukun itu nyinyirin Mingyu. Mereka berjalan santai menyusuri jalan setapak yang kian gelap karena padatnya pepohonan di bagian dalam hutan. Bukit kecil itu menyambung ke kaki gunung. Bila ke arah sekolah, mereka harus berjalan lurus sampai menuruni lagi bukitnya, rute sehari-hari Jeon Wonwoo. Kini, mereka berbelok ke kanan, ke kaki gunung yang menyimpan kolam rumah si Kappa. “Mana ada yang nggak sengaja ke kolam Kappa terus nggak sengaja ngintip dia mandi. Effort banget buat nggak sengaja lo tuh ya.”
Jeon Wonwoo makan telur mata sapi dan selada kentang buatan ibunya. Lalu, dia memakai tas selempang di atas seragam putihnya dan pamit pergi. Hari itu adalah salah satu hari biasa di musim panas. Meski masih pagi, matahari bersinar terik, bergantung di langit yang berwarna biru tua. Awan tebal bak gulali juga setia menemani si mentari.