18.
“Tapi itu nggak mungkin!”
Minghao marah. Sudah berbaju sekarang, Kappa itu menyilangkan kakinya dengan anggun. Kedua lengannya pun melipat di dada.
“Nggak mungkin ada yang ngambil Wonwoo di sekitar sini terus gue nggak tau! Kalo ada yang make kekuatan segede gitu sampe distorsi dimensi, pasti gue ngerasain kan??”
Yah, bener juga sih argumen itu.
“Ya kali lo nggak bisa ngerasain—”
”....Haaaa?”
Jeonghan menutup mata. Jihoon menutup muka. Emang Kim Mingyu paling dogol sedunia.
“Maksud lo gue selemah itu sampe nggak bisa ngerasain makhluk asing pake kekuatan segede itu? Gitu, Kim Mingyu?”
Padahal wujud manusia Mingyu jauh lebih besar daripada Minghao, namun siluman anjing itu meringkuk ketakutan, menjadi sekecil tikus lalu berlindung di belakang punggung Jihoon. Si kucing hitam hanya bisa mengangguk-angguk dan mengangkat tangan, meminta Minghao untuk sabar. Berabe kalau si Kappa malah ngambek di sini karena salah sedikit kata semata.
“Udah jangan didengerin, Mingyu kan gede-gede odong,” ucap Jihoon. Masa bego kalau siluman anjing di belakangnya itu merengut mendengar ucapannya barusan. Salah siapa coba di awal? “Tapi serius. Hani bilang terakhir dia liat Wonu di jalan setapak itu. Si anjing ini juga ngendus wangi Wonu terakhir sebelum lenyap di tempat yang sama.”
“Gue tiap pagi ngendus Wonu-hyung, jadi nggak mungkin gue salah,” cicit Mingyu.
“Dan gue juga percaya sama penglihatan Hani,” tambah Jihoon.
”...,” mengabaikan si siluman anjing, Minghao menoleh menatap Jeonghan. “Gue juga percaya sih sama lo, Han. Kalo lo bilang Wonwoo ada di situ, harusnya dia di situ. Tapi serius, gue nggak ngerasain apapun. Nggak ada bahaya atau apa. Lagian, kalopun misalnya gue telat ngerasain, kan di jalan setapak itu ada Jizo. Tiga bocah itu gue suruh jagain Wonu tiap dia lewat. Kalo emang Wonu dalem bahaya, pasti mereka kasitau gue.”
Jeonghan mengangguk. Ia juga berpikiran yang sama.
“Tapi mereka nggak ada yang ngerasain bahaya. Sama kayak gue.”
Lalu, mereka semua terdiam.
”...Eh, lo pada tau nggak?” Mingyu lah yang memecah keheningan. “Kalo dia bisa pake distorsi dimensi, tapi nggak ada yang bisa ngerasain, dan dia dibawa pun nggak kelacak sama Hani, berarti, menurut kalian...
...makhluknya yang nyipet Wonu-hyung kuat banget nggak sih?”
Tidak ada yang berkomentar. Jihoon menghembuskan napas yang sedari tadi ia tahan.
“Anyway, kita kalo bengong gini aja percuma. Tadinya kita mau nanya mungkin lo tau dia di mana, Hao, tapi kalo nggak tau ya enggak apa. Trims ya. Sori kita udah ganggu waktu lo mandi,” Jihoon bangkit sambil tersenyum.
“Nggak apa, Hoon. Sebelom liat muka si anjing itu, gue lagi seneng kok. Soalnya tadi ujan, jadi mangkok di kepala gue penuh air.” đź¤
Jeonghan tiba-tiba mendongak.
“Ujan?”
Minghao mengangguk.
“Tapi ini musim panas.”
Hening.
“Emm, tapi tadi emang ujan kok? Nggak deres bwossh gitu sih, tapi, kayak rintik teratur. Lembut banget deh. Ujannya nyaman gitu deh, agak anget malah airnya.”
“Oi, Ji,” Mingyu menyadari sesuatu.
“Umm,” Jihoon juga sama. “Tadi Hansol juga bilang hal yang sama. Tadi ujan.”
”?” Minghao memandang mereka bingung.
“Hao. Kayaknya ujan itu cuma di sini aja deh, soalnya seluruh bagian desa yang lain nggak ujan,” jelas Jihoon.
“Dan pas kita jalan tadi ke arah sini, nggak ada tanda-tanda abis ujan. Nggak ada becek. Nggak ada ojek. Daun juga kering semua,” Jeonghan menaikkan bahu dengan santai. “Berarti bukan ujan biasa.”
“Bukan,” Jihoon mendongak memandang matahari, yang ia teduhi dari mukanya dengan telapak tangan. “Dan cuma tiga jenis makhluk yang bisa ngebuat hujan ghaib di musim panas begini.”
Ia bergumam pelan.
“Dewa Gunung, Amefurikozou, dan...rubah.”