29.
“Ahh...”
Kucur air dingin menyejukkan mengisi mangkuk di kepalanya. Sang Kappa duduk di bangku kayu di bawah rindang pohon yang besar, menikmati angin sepoi-sepoi yang menyibak dedaunan hijau cerah. Kim Mingyu sedang membanjur kepalanya dengan air yang ia beli dari vending machine sebelah bangku tersebut. Air itu pun mengalir menuruni sisi wajah sang Kappa dan jatuh menitik dari rahangnya.
Sang Kappa melenguh puas. Mingyu diam-diam meneguk ludah.
Sampai ketika air itu habis, si siluman anjing melemparnya masuk ke tong sampah. Minghao tidak mengibas kepalanya yang basah kuyup, takut air di mangkuknya tumpah.
“Udah?”
“Mm,” angguk sang Kappa. “Trims ya.”
Mingyu menghela napas. “Cepet banget sih mangkok lo kering. Ini udah empat kali kita stop. Kalo kayak gini, gimana mau nyari si Amefurikozou? Dia suka loncat-loncat nemplok sama angin, tau,” keluhnya. Bukan tanpa alasan sih. Dia sendiri sudah banjir keringat. Kemejanya yang berwarna biru ceria sudah ia buka sampai kancing ketiga saking pengapnya. Nggak bisa bayangin deh kalo kudu pake denim kayak si Kappa (yang herannya nggak keringatan sama sekali padahal mangkoknya kering melulu).
“Ya mau gimana, kalo mangkok gue kering, gue mati,” sang Kappa menggembungkan sebelah pipi. “Lo kayaknya kepanasan juga. Duduk sini, duduk. Gue traktir deh sekaleng minum. Lo mau apa?”
“Kaldu daging,” seloroh Mingyu sambil duduk di sebelah Minghao. Adem banget di sini. Ngaso dulu sebentar nggak apa lah ya harusnya.
“Mana ada,” Kappa itu bangkit dan memeriksa isi vending machine. “Adanya air, kopi, teh, jus buah, terus, hmm...sup miso, sup bawang, sup kacang merah, oden...Milkshake stroberi? Kue cokelat cair? Vending machine jaman sekarang kreatif ya isinya...”
Mingyu mendengus geli. “Katanya kalo di kota lebih kreatif lagi. Ada yang jual pisang, payung, buku, sampe ramalan,” jelasnya.
“Heee...,” Minghao mengelus dagu. “Lo mau apa?”
“Kopi aja deh.”
Dia memasukkan beberapa koin lalu menekan tombol di bawah kopi hitam tanpa susu. “Nih,” kaleng itu dingin saat Mingyu menerimanya. “Kita impas ya.”
Terserah Yang Mulia aja lah, batin Mingyu 😐
Menit-menit berikutnya, mereka duduk di sana bersisian. Mingyu meneguk perlahan kopi hitam dinginnya dengan sebelah kaki ditumpangkan ke kaki yang satu lagi, sementara Minghao bersandar sambil memejamkan mata. Matahari menyengat tanpa diteduhi gumpal awan sama sekali. Angin terus saja berhembus. Gemerisik dedaunan semakin keras terdengar.
Mingyu meneguk lagi kopinya sampai habis.
“Dateng.”
Mingyu menghancurkan kaleng kosong di tangannya tanpa berbicara apapun. Angin semakin dan semakin saja mengencang. Dedaunan mulai berputar di sekeliling mereka, lepas karena sibakan angin.
WUUSSHHH!
Hembusan kencang angin di antara Mingyu dan Minghao, menyibak helai rambut mereka, pakaian mereka, dan meninggalkan dua belah jejak luka di pipi masing-masing. Darah menetes dari kedua luka itu.
“Nggak gini dong mainnya, Kamaitachi,” protes Minghao. Ibu jarinya menyapu darah di pipinya sendiri sebelum ia jilati.
“Nggak berubah ya lo...,” Mingyu menghela napas. “Soonyoung-hyung.”