14.
(endus endus)
“Gimana, Gyu?”
“Di sini nih,” ujarnya. Jalan setapak terbuat dari tanah dan bebatuan alamiah yang mereka injak masih meninggalkan wangi Wonwoo sebelum hilang sama sekali. Benar-benar bedanya hanya selangkah dan wangi itu langsung lenyap. Kim Mingyu mengerutkan alis semakin dalam. “Ilang di sini.”
Jihoon melipat lengan di dada. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Wonwoo di bukit itu selain jejak bau yang hanya bisa dicium oleh siluman anjing itu (dan sejenisnya, mungkin, Jihoon sih nggak nyium apa-apa ya). Dia pikir tadinya mungkin ada tas atau sepatu Wonwoo, atau topi, atau benda apa saja yang bisa dia kirim ke Jeonghan, namun ternyata nihil. Ditilep sampai habis.
“Ada yang belah deh nih dimensinya di sini,” tidak perlu lah Jihoon menoleh untuk tahu Jeonghan yang bersuara. Dukun berambut pirang itu berdiri di atas titik yang diduga dimana Wonwoo hilang dan menyapukan tangannya sambil lalu. Sedikit distorsi terjadi, membuat tangan Jeonghan agak buyar seperti layar televisi yang rusak, sedetik, sebelum tangan itu kembali seperti semula. “Sisa doang. Udah ketutup sekarang.”
“Aneh,” gumam Jihoon. “Keluarga Wonu udah lama pindah ke sini. Ketempelan udah sering. Tapi baru kali ini dia ditilep gini.”
“Jangan nyalahin gue yak, gue nggak jagain dia karena dia nggak mau kan jadi pacar gue,” seloroh Jeonghan. Kedua tangan ia masukkan ke saku celana jins. Celana itu pas membungkus kakinya yang jenjang, kontras terhadap kemejanya yang kedodoran. “Coba kalo dia nerima gue, kan sekarang nggak begini.” 😬
Jihoon tidak berkomentar apapun, hanya memutar bola mata 🙄
“Eyy, gak ada hubungannya kali, Wonu-hyung jadian ama lu apa enggak,” selak Mingyu. “Tapi asli sih, siapa ya yang berani banget nilep Hyung? Masa dia gak bisa nyium sih ada bau Hani, bau Jiji sama bau gue, to say the least? Nyalinya gede juga?”
Dalam hati, Jihoon membenarkan pernyataan Mingyu. Jeonghan sendiri saja levelnya sudah cukup tinggi, sementara dia dan Mingyu termasuk makhluk tua di daerah itu. Siapapun yang menculik Wonwoo either gila atau kepalang berani.
“Apa kali si rubah yang lo ceritain itu?” tanya Jeonghan.
“Rubahnya udah ilang dari kemaren kata Wonu dan pagi ini dia nggak balik,” Jihoon menggeleng. “Lagian tuh rubah masih bocah. Gue nggak yakin dia berani begitu. Gue rasa ini kerjaan demit yang sama tuanya kayak kita deh.”
“Kalo sama tua kayak kalian sekitar sini mah...”
“Jeonghan!” “Hani-hyung!” “Hyung!”
“Heheyyy, anak-anak manis,” senyuman pun mekar di wajah tampan sang dukun. Tiga anak kecil yang muncul itu serta-merta memeluknya kala bersua. Mereka adalah ketiga Jizo yang menjaga para manusia yang melewati bukit itu. Sontak, sebuah pemikiran muncul di kepala Jeonghan.
“Kwannie, Sollie, Channie. Kalian liat Wonu?”
“Liat!” “Liat kok.” “Liat tadi pas dia lewat!”
Ketiga anak itu melompat lompat. Jeonghan harus menenangkan mereka dulu sebelum lanjut bertanya. Jizo memang penjaga anak-anak dan pengelana, namun mereka sendiri cukup kekanakan kepada semua makhluk yang mereka temui. Tentu saja, mereka pun mengenal manusia satu-satunya yang wanginya paling enak di desa itu, Jeon Wonwoo.
“Liat dia pergi ke mana nggak?” Jihoon mengambil alih kemudian.
“Situ!” “Situ.” “Ke arah sana!”
“Oh.”
Mingyu meneguk ludah. “Itu ke arah kolam si Kappa....kan?” padahal tanpa perlu ia tanya pun semua makhluk juga tahu.
Jauh di dalam gelap hutan adalah kolam tempat tinggal sang Kappa yang penyendiri. Ia makhluk pemalu, enggan menampakkan diri, namun apabila ada yang melihat tubuhnya saat ia mandi, maka ia akan memakan siapapun yang berani mengusiknya itu. Tanpa terkecuali.
“Yeah...,” Jeonghan meringis. Ia sendiri tidak terlalu ingin mengganggu ketenangan si Kappa dan selalu berhati-hati terhadapnya.
Mereka diam. Tapi mereka semua tahu kalau tidak ada jalan lain. Mereka harus bertanya pada si Kappa.
“Timun lo?” Jihoon berbisik.
“Ready, Ji,” balas Mingyu.
“Kappa lagi seneng kok.” “Iya juga ya, tadi hujan.” “Kolam juga damai aja, ayo kalian jalan sana, si kappa lagi mau terima tamu.”
Jihoon tidak terlalu yakin, tetapi Jizo adalah makhluk yang baik. Mereka tidak pandai berbohong. Maka, dengan berat langkah, ketiga makhluk itu menuju kolam Kappa setelah memberikan manju isi kacang merah ke ketiga Jizo yang diterima mereka dengan senyuman amat lebar.