9.
Jeon Wonwoo makan telur mata sapi dan selada kentang buatan ibunya. Lalu, dia memakai tas selempang di atas seragam putihnya dan pamit pergi. Hari itu adalah salah satu hari biasa di musim panas. Meski masih pagi, matahari bersinar terik, bergantung di langit yang berwarna biru tua. Awan tebal bak gulali juga setia menemani si mentari.
Wonwoo mengusap keningnya yang bercucuran keringat. Jalan menuju sekolah satu-satunya di desa itu memang mewajibkannya melewati bukit kecil. Tak ada apapun di desa itu selain pegunungan dan sawah terbentang luas. Mereka bahkan hanya punya dua konbini di sana.
Gerah. Udara begitu panas. Harusnya Jeon Wonwoo memakai topi—
Tes.
“Oh?” telapak tangan berbalik menantang langit. Tetesan air pertama pun terasa. “Hujan?”
Seketika, langkahnya terhenti.
“Selamat pagi.”
Ada seseorang. Orang itu mengenakan sweater warna daun lengan panjang dan celana jins. Di dalam sweater, ia bisa melihat kerah kemeja orang itu. Ia memakai semua itu di cuaca sepanas ini dan tak tampak keringatan sama sekali.
Fix bukan orang ini mah.
Makhluk itu kemudian tersenyum. Wonwoo memetakan perawakannya. Tinggi mereka tak jauh berbeda, tapi makhluk itu tetap lebih tinggi darinya. Tubuh Wonwoo tidak bisa dibilang kurus dan ringkih seperti dulu lagi semenjak ia masuk SMA, tetapi makhluk itu memang lebih besar lagi darinya. Lebih berisi. Intinya, kalau Wonwoo melawan, ia akan dengan mudah dapat ditaklukkan. Otaknya berpikir cepat. Jalan terbaik adalah diam dan melihat ke mana arah pertemuan ini.
“Selamat pagi,” ia mengulangi. “Jeon Wonwoo.”
Namanya disebut. Nama lengkapnya.
Oke, ini gawat. Gawat banget.
Dia diam. Dia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Hujan terus turun perlahan, tenang, berderai lembut membasahi bumi. Rambut hitam Wonwoo mulai lepek, menempel ke sekitar wajahnya. Ia mulai tidak bisa melihat dengan jelas karena kacamatanya tertutup tetes air.
Makhluk itu tersenyum lagi.
Tampan.
....Sebentar, dia mikir apa barusan?
“Bagus ya cuacanya? Hari ini pernikahan rubah,” ucapnya tenang. “Dan aku datang hari ini untuk menjemput pengantinku.”
Ia tengah memikirkan berbagai cara untuk bisa lepas dari makhluk yang memegang nama aslinya itu ketika serenteng kalimat barusan akhirnya menembus batok kepalanya.
”...Eh?”
Dan, saat Jeon Wonwoo menyadari arti kalimat itu, ia telah hilang. Lenyap tanpa bekas.