16.

#wwnatsume

“Halah pler, nggak sengaja dari Hong Pong,” makin jadi lah dukun itu nyinyirin Mingyu. Mereka berjalan santai menyusuri jalan setapak yang kian gelap karena padatnya pepohonan di bagian dalam hutan. Bukit kecil itu menyambung ke kaki gunung. Bila ke arah sekolah, mereka harus berjalan lurus sampai menuruni lagi bukitnya, rute sehari-hari Jeon Wonwoo. Kini, mereka berbelok ke kanan, ke kaki gunung yang menyimpan kolam rumah si Kappa. “Mana ada yang nggak sengaja ke kolam Kappa terus nggak sengaja ngintip dia mandi. Effort banget buat nggak sengaja lo tuh ya.”

Mendengar itu, Mingyu tidak bisa menahan pipinya yang memerah. Jihoon hanya ketawa kecil, membiarkan si siluman anjing makin malu.

“A-abisan gue tuh penasaraaann. MANGKOK DI KEPALANYA ITU NUTUPIN APAAAN!??? MANGKOKNYA ITU LHO! GEMES NGGAK SIH??”

“Gemes mangkoknya apa Kappanya?” goda Jeonghan.

“Diem ah!” 😩

“Ya lagian lu, nyari alesan ngadi-ngadi. Udah tau kalo mangkok itu ya ada di kepala, ya udah terima aja. Besok-besok lo nanya kenapa si Payung jalannya loncat-loncat dah nih,” celetuk Jihoon.

“Eh iya deh kenapa ya si Payung jalannya loncat-loncat—”

Lagi-lagi, Jihoon memutar bola mata 🙄 Auk ah gelap.

Sst,” Jeonghan mendiamkan mereka. Mereka sudah masuk ke wilayah si Kappa begitu udara menjadi berat dan berbau lumut. Terdengar kecipak air dan tawa bernada tinggi. Jizo memang tidak pernah bisa berbohong. Sepertinya si Kappa memang sedang senang.

“Siapa?” si Kappa duluan yang menoleh. Ia duduk di pinggir kolam, tenang dan berwibawa. Kakinya masuk ke air, sementara tubuhnya yang telanjang dengan punggung tertutupi cangkang bertengger di sana. Mangkuk di atas kepalanya basah. Kulitnya putih mulus dengan ekor kecil yang menggemaskan. Ia tidak gentar ataupun kabur, karena ia menemukan paras Jeonghan dan Jihoon yang familier. “Gue lagi mandi.”

“Sori, Hao,” Jeonghan meringis. “Kalo mau, kita balik badan dan tunggu lo pake baju.”

Minghao berpikir sejenak, lalu mengibaskan tangan sambil lalu. “Nggak apalah. Kalian berdua ini doang,” kalau makhluk asing, baru ia akan makan dagingnya. “Kenapa nih, tumben kemari?”

“Nggak berdua,” Jihoon menyambar, membuat Minghao mengerutkan alis. “Bertiga.”

Kucing hitam itu melangkah ke samping untuk menampilkan seekor anjing putih menggemaskan. Anjing itu berjalan malu-malu mendekati si Kappa sambil menggigit sepotong ketimun segar.

”...Ngapain lo ke sini juga? Mau gue makan apa gimana?” kernyitan di dahi Minghao makin dalam. Ia tidak begitu suka si siluman anjing penjaga kuil dekat kuburan karena ia pernah mengintip Minghao yang sedang mandi.

Anjing itu mendeking. Lalu, ia meletakkan ketimun di samping tangan Minghao. Mingyu duduk di situ dengan paras kuyu dan mata lebar yang berbinar. Ekornya menyibak hati-hati rerumputan yang ia duduki. Seolah, Mingyu sengaja duduk di sana dengan muka terlucunya agar Minghao kasihan dan sudi memaafkannya.

Yang mana gagal sama sekali.

“Ketimun. Lo pikir cukup?” dicubitnya pipi si anjing kecil. “Semua yang ngintip gue mandi harus gue makan, tau.”

Nguk...” ☹️

“Emang nggak ada cara lain, Hao?” tawar Jeonghan. “Apa gitu yang bisa Mingyu lakuin biar lo maafin dia. Bangun candi kek. Bikin pulau. Apa kek.”

“Nggak ada,” sesaat, Minghao diam, sebelum melanjutkan. “Ada sih. Cuma satu.”

“Apa tuh?”

“Kalo nggak kita makan, ya kita kawinin.”

Poff!

“HAH GUE NGGAK MAU KAWIN DULU???”

“Gyu, pake baju dulu issh,” decak Jihoon.

“GUE MAU MAKAN WONU-HYUNG DULU BARU KAWIN????”

“Wonu-nya aja ilang dah,” selak Jeonghan.

“Hah? Wonwoo ilang?” kuping lancip Minghao berkedut. Ia langsung ke mode siaganya, mengabaikan Mingyu dan ketimunnya. “Gimana caranya dia bisa ilang? Gue selalu suruh Jizo buat jagain dia tiap lewat sini.”

“Justru kita ke sini mau nanya ke elu, Hao, soal Wonu yang ilang ini.”

Minghao mengangguk. Ia memang makhluk yang jarang sekali menyukai manusia, namun, hanya Jeon Wonwoo lah manusia yang ia terima sebagai temannya. Jeonghan dan Jihoon pun tentunya berpikiran sama kalau mereka sampai ke sini menemuinya. Ia berdiri. Air menetes dari kulit telanjangnya yang mulus, tak sehelai benang pun menutupinya.

(Mingyu refleks mengalihkan pandangan saat tubuh telanjang itu berdiri terlalu dekat dengannya)

“Gue pake baju dulu.”

Lalu, dengan bunyi clup yang ringan, Kappa itu menyelam ke kolam.