52.
“Choi Seungcheol.”
Dewa Gunung sejenak memampangkan seringai mengerikan, walau detik kemudian berubah menjadi senyuman lebar seakan ia tak berbahaya sedikitpun. Well, memang tidak sih, selama tidak dipancing amarahnya. Sepertinya melihat kedatangan Jihoon membuat sang Dewa berwelas asih, karena gumpalan awan serta merta berarak menutupi mentari, membuat suasana berubah sejuk, menyegarkan mereka dari serangan panas yang menyengat sepanjang perjalanan.
“Ayo, masuk, masuk,” tawanya terlantun. Suasana hatinya makin berbunga saat ia mendekati Jihoon, memaksa Nekomata hitam itu terhenyak menjauh, berderap mundur untuk menjadikan Jeonghan tameng manusianya. Sang dukun hanya bisa menghela napas sambil mengelus sisi rahang Jihoon, mencoba menenangkan kucing piaraannya itu.
“Rumahku nggak gede lho.”
Kalimat yang bermakna ganda, sekaligus bullshit. Rumah sang Dewa adalah seluruh gunung itu, namun ia memilih untuk tinggal di kuil yang dibangun manusia untuknya di bagian puncak. Kuil itu tidak megah dan tergolong kecil. Sang Dewa menyukainya, menyukai kesederhanaan dan kenyamanan tempat itu. Di bawah rindang pepohonan, dengan pemandangan seluruh wilayah kekuasaannya yang subur dan ramai oleh makhluk halus. Tempat yang ingin ia bagi bersama pasangannya kelak.
Bersama Jihoon.
Nekomata hitam itu merengek perlahan, enggan mengikuti keinginan sang Dewa. Jeonghan menoleh pada Jihoon, lalu menggelengkan kepala. Bagaimanapun, seluruh gunung dan desa adalah milik Choi Seungcheol. Tidak bijak jika bertindak bodoh karena ketidak sukaan semata. Lagipula, Wonwoo masih belum diketemukan.
Sumpah lah, Wonwoo utang budi banyak banget sama Jihoon, hadeeeh 😐
Menahan segala rasa gelisahnya, Nekomata itu pun beralih wujud seketika itu juga, kembali ke raga manusianya. Alis hitam berkerut dalam, merengut menatap Seungcheol, yang justru parasnya semakin bersinar ceria, berkebalikan 180 derajat dengannya. Seungcheol mengambil tangan Jihoon, kemudian mengecup punggung tangan itu. Jihoon mendengus sebal, tak menghiraukan keadaan dirinya sendiri yang telanjang tanpa sehelai benang pun, berdiri di hadapan pemiliknya dan makhluk yang ia benci.
“Jihoonie,” kini, kata yang keluar dari bibir sang Dewa menyerupai bisikan lembut. “Aku masih nunggu jawabanmu.”
Jihoon mendecak.
“For the last time, Choi Seungcheol, gue nggak mau jadi kucing lo. Gue punyanya Hani and it will stay that way!”
Jihoon menarik tangannya dari bibir Seungcheol. Sang Dewa bergeming, masih saja menatap Jihoon seolah ia satu-satunya dalam pandangan. Hal itu membuat Jihoon resah. Ia merangkul lengan Jeonghan, menghirup aroma dukun itu yang familier untuk menenangkan diri. Jeonghan pun mengusrek kepala Jihoon, sebelum tersenyum pada Seungcheol.
“Sebenernya kita ke sini mau nanya satu hal sih. Gue to the point aja yah. Lo bukan, yang nurunin ujan di bukit tempat kolam Kappa, sekitar jam makan siang?” tanya sang dukun.
Sang Dewa mengelus dagunya. Dilihatnya semburat senja mulai mewarnai langit, membuatnya mempertimbangkan ucapan yang akan keluar selanjutnya. Perasaan Jeonghan langsung tidak enak. Dan, benar saja, sang Dewa pun berkata.
“Hari udah mau malam. Makan malam sendirian itu ngebosenin,” Jihoon tak bisa menahan untuk tidak memutar bola mata mendengar itu. Tahu dengan pasti bahwa ia dan Jeonghan terjebak di sana, mungkin sampai larut malam.
Great, pisuhnya dalam hati.
“Ayo masuk, Yoon Jeonghan,” lalu, senyuman, pada makhluk yang ia dambakan selama puluhan tahun ke belakang, ketika ia pertama menemukannya tersesat di tengah hutannya. “ Woozi.”
Jihoon menggertakkan gigi. Imina-nya. Sialan, Choi Seungcheol.