32.

#wwnatsume

“CAPPEEKKKK!!”

Udahlah. Jihoon nyerah. Mereka berhasil jalan lagi selama sejam (ya lumayan juga sih sejam buat ukuran Hani yang mageran itu 🙄) sebelum Jeonghan terhuyung ke salah satu pohon rindang untuk berteduh. Kemeja pinknya sudah terikat kusut di sekeliling pinggang. Ia mengibas kerah kaus putihnya, mencari sekerjap saja angin. Dari tadi tidak ada angin berhembus, membuat udara makin gerah saja. Dukun itu duduk begitu saja di bawah pohon, sudah tidak kuat lagi.

Jihoon menghela napas. Ia pun duduk di samping Jeonghan, lalu membuka ransel yang dari tadi dibawanya. Dikeluarkannya termos penahan dingin berisikan teh gandum kegemaran Jeonghan, yang langsung disambar dukun itu untuk ditenggak banyak-banyak.

“AAAHHHH!! EMANG TEH GANDUM DINGIN DI MUSIM PANAS TUH ENDESS BANGET!! PUAHHH!!”

Norak banget, udah kayak bapak-bapak kantoran mabu-mabuan abis kerja lembur dah 🙄

“Mau makan juga?“Jihoon mengeluarkan kotak bekal yang dijejalinya dengan nasi kepal dari konbini dekat rumah mereka. Dalam sekejap mata, dua nasi kepal isi salmon panggang dan asinan buah plum sudah habis ia lahap. Jihoon sendiri membuka sekaleng makanan kucing berisikan daging tuna yang dihaluskan dan ia menikmatinya dengan sekotak susu. Mereka berdua makan dengan santai walau udara masih saja gerah.

“Ini di gunung tapi gerah bener, gelo siah,” keluh Jeonghan.

“Berarti si Kamaitachi nggak ada di sini,” gumam Jihoon sebelum menyuap suapan terakhir ikan tunanya. “Baguslah. Gue males liat dia.”

“Malesan liat Kamaitachi apa Dewa Gunung?” Jeonghan meringis jahil, membuat Jihoon mendengus.

“Males liat dua-duanya.” 😤

“Meong gue laku bener,” Jeonghan ketawa kenceng. “Tapi inget ya, yang punya siapa. Yang ini lho. Yang di sini.”

Jihoon memutar bola mata 🙄

“Pokoknya meong gue nggak boleh kawin tanpa seijin gue.” 😤

“Si anjing...yang mo kawin siapa??” 😐😐

“Yaa siapa tau kan tetiba heat lo muncul pas si Kamaitachi ato Dewa Gunung di situ??” 😤

“Najis!” 😐🙄

“I rest my case!” 😤

“Dah lah lu buruan abisin makan, terus kita lanjut jalan lagi!”

(tendang) 😐😐

“ADUHH MAGERRR, GUE CAPEK MAU BOBOK!” 😩😩

“Hani....” 😐😐😐

Mendadak, sebuah ide muncul di kepala Jeonghan. Ia merogoh ransel dan mengeluarkan sebuah kitab sutra. Melihat itu, bola mata Jihoon pun melebar, segera sadar akan niat Jeonghan kali ini. Dengan cepat, dukun itu membuka lembaran demi lembaran kitab, kemudian menyobek selembar halaman.

“Hani...,” Jihoon menggeram.

Mengabaikan protesan Jihoon, dukun itu menggigit halaman tersebut, kemudian merapal mantra. Bagi manusia biasa, mungkin Jeonghan terdengar sedang bergumam tidak jelas, namun bagi Jihoon dan makhluk halus lainnya, jelas Jeonghan sedang merapalkan mantra yang kuat serta, di akhir, saat Jeonghan menghembuskan huruf hingga melayang dari halaman tersebut, Jihoon mendengar nama lahirnya, imina-nya, disebut.

Ia hanya bisa menggertakkan gigi menahan ketidak sukaan saat wujud manusianya menghilang dan digantikan oleh wujud aslinya, seekor nekomata besar berwarna hitam dengan kuku-kuku setajam belati dan dua ekor panjang yang memecut tanah.