296.
Minghao mengernyitkan alis. Setelah mengirim renceng tanda tanya ke grup wiskul, meminta Jeonghan menjelaskan maksudnya, mendadak dunianya gelap.
โGuess who?โ
Minghao mengernyitkan alis. Setelah mengirim renceng tanda tanya ke grup wiskul, meminta Jeonghan menjelaskan maksudnya, mendadak dunianya gelap.
โGuess who?โ
Setelah mandi dan berganti baju, kini mereka berdua berbaring di kasur Mingyu. Lampu tetap dipadamkan. Hanya pias lampu dari jalanan menjadi satu-satunya sumber penerangan di kamar tersebut.
Dengan tubuh menghadap samping, mereka saling bertatapan. Hanya menatap. Lama.
Ketika Jihoon membawa Minghao kembali, Mingyu segera mendekapnya. Dia menangkap mata Minghao yang sembab dan ujung hidung yang memerah dalam sekali tatap dan dia langsung paham.
Jihoon menghapus air mata Minghao dengan kedua ibu jarinya. Sebulir berlinang, dihapus, lalu sebulir lagi.
โDo you love him?โ
Menyusuri arah lari Minghao tadi, Jihoon menemukan dua pilihan. Belok ke kanan, maka akan sampai ke pintu depan. Belok ke kiri, maka akan sampai ke area outdoor yang tidak dipakai untuk pesta, karenanya area itu gelap dan sepi. Tanpa berpikir, ia berbelok ke kiri.
Tatapnya masihlah nanar karena kepala penuh informasi baru yang belum bisa ia cerna dengan benar. Mingyu, menangkap ribuan tanda tanya berputar di dalam kepala kekasihnya itu, terkekeh, lalu mengecup bibirnya lagi, mencoba menenangkan Minghao sebelum menjelaskan lebih lanjut.
โ....Gyu?โ
Suara itu membuat Mingyu menoleh dan, bagai pancaran matahari, seluruh gesturnya melonjak penuh semangat.
Kedua alisnya tertaut. Sudah tiga kali dia menelepon Mingyu, namun lelaki itu tidak menjawab. Whatsapp juga tidak dibalas. Minghao menelpon nomor Mingyu, tapi sia-sia belaka. Decakan kesal lepas sebelum ia memutuskan sambungan. Arlojinya menunjukkan hampir pukul 7 malam. Pesta selesai sejam lagi.
Minghao bangun agak siang Sabtu itu. Ia mengulet, secara alamiah mengulurkan lengan ke sisinya, mencari kehangatan tubuh lain dalam keadaan masih mengantuk. Namun, alih-alih mengusrek wajahnya ke dada Mingyu seperti biasa, hanya dingin seprai terasa di telapak. Perlu sepuluh detik baginya mengerutkan alis untuk mengingat bahwa Mingyu pulang ke rumah orangtuanya semalam.
Hal lain yang membuat Minghao senang diajari masak oleh Mingyu adalah kejujuran lelaki itu. Ia tidak kejam menyatakan enak atau tidak, alih-alih memberikan solusi bagaimana membuat masakannya lebih berkesan di lidah penikmatnya.