277.
Hal lain yang membuat Minghao senang diajari masak oleh Mingyu adalah kejujuran lelaki itu. Ia tidak kejam menyatakan enak atau tidak, alih-alih memberikan solusi bagaimana membuat masakannya lebih berkesan di lidah penikmatnya.
Sejumput garam, sedikit gula, satu sachet saus tomat dan sambal, separut jahe, segeprek bawang putih... Hal-hal simpel yang Minghao tadinya tidak tahu dapat memperkaya rasa suatu masakan. Notes berisikan resep miliknya sudah penuh oleh catatan-catatan kecil. Pun kali ini, Mingyu memberikan sedikit masukan dan Minghao dengan rajin menulisnya.
Selesai makan, Mingyu mencuci piring dan peralatan makan lainnya, sementara Minghao sudah duduk sedari tadi di sofa ruang tengah kamar kost Mingyu, bantal sofa di pangkuan, melanjutkan bacaannya. Tidak lama, Mingyu pun ikut bergabung dengannya.
Lelaki itu merebahkan kepalanya ke bahu Minghao sambil menyesap secangkir besar cokelat panas. Di luar, hujan turun lagi. Secara refleks, Minghao menyandarkan pipinya ke kepala Mingyu. Ia menghirup napas dalam-dalam. Kekasihnya wangi sabun dan shampoo yang kini telah familier baginya.
Mereka duduk di sana dalam keadaan seperti itu, beberapa saat menikmati rintik hujan menerpa bumi, menjadikannya satu-satunya bunyi yang menyusup kesunyian malam itu.
Syahdu.
Minghao menutup buku, menaruhnya di atas nakas samping sofa, sebelum mengelus kepala Mingyu dengan pipinya.
“Gyu....,” mulainya. “Aku mau ngasih tau sesuatu...”
“Hmm?”
“Gini. Sebenernya ini cerita agak lama sih. Dua bulan lalu, aku dikabarin Bang Jihoon kalo aku ditawarin promosi.”
Perlahan, kepala Mingyu menjauh dari bahu Minghao. Ekspresinya campuran kaget dan senang.
“Serius??”
Minghao mengangguk.
“Congratulations!!” Mingyu lantas memeluk erat kekasihnya, menghadiahinya kecupan di sekujur wajah. Dari kening, kelopak mata, pipi, hidung, rahang, dagu, bibir... Minghao perlu mendorong Mingyu untuk mampu melanjutkan ceritanya, walau ia sendiri pun tertawa lepas akan tingkah kekasihnya.
“Aku udah kerja di kantor ini 7 tahun. Dua kali promosi. Tapi, yang ketiga ini, ini opportunity gede. Aku dikasih project sendiri, tim sendiri, posisi kayak Bang Jihoon lah, tapi lebih banyak orangnya.”
Mingyu meringis makin lebar. “You deserve it,” pujinya dengan bangga.
Pipi Minghao merona karenanya.
“Tapi.”
Ia mengambil kedua tangan Mingyu untuk digenggam.
“Bukan di sini.”
Ringisan dengan cepat sirna.
“Di Jepang. Headquarter.”
. . . . .
Hening.
”............Berapa lama?”
“Dua tahun,” dirasakannya tangan Mingyu menegang dalam genggaman. “Proyek baru di sana. Kerjasama antara pemerintah Jepang dan Indonesia dan kita menang tender. Makanya mereka perlu orang Indonesia di sana dan Bang Jihoon ngusulin namaku. Dan mereka oke. Aku pergi akhir bulan ini...”
Mingyu terlalu diam, bahkan setelah Minghao berhenti bicara. Tak ayal, ia pun mulai cemas.
“Gyu...are you okay...?”
“Mm,” alis lelaki itu berkerut. “I just...I need some time to process all this information...I mean, mendadak banget...”
“Yeah...yeah, I know, I'm sor—”
Telunjuk Mingyu menekan bibirnya.
“Don't,” larangnya, sambil menggeleng kepala sedih. “Kamu jangan minta maaf. This is your life. Your future. I believe you decided this for the best. So please, never, ever, say you're sorry. There is nothing to be sorry for.”
Minghao, tersenyum, mengecup telunjuk Mingyu. Lalu telapak tangannya. Kedua punggung tangan. Kemudian, bibirnya.
“This is our life. Our future, Gyu,” senyumnya makin manis. “Aku mutusin ini setelah aku pertimbangin masak-masak, dengan kamu di dalamnya.”
”........Just so you know, I have no intention to ever let you go,” gumam Mingyu.
Minghao terkekeh. “What a coincidence,” ringisnya jahil. “Aku juga mikir hal yang sama.”
Bibir mereka menyatu lagi. Sama lembutnya, namun lebih mantap. Lebih posesif.
“I need time to accept this...,” bisiknya ke bibir Minghao.
“Then take all the time you need, baby, I am here....”
Pelukannya pada Mingyu mengerat.
“I'm always here with you...”