278.
Minghao bangun agak siang Sabtu itu. Ia mengulet, secara alamiah mengulurkan lengan ke sisinya, mencari kehangatan tubuh lain dalam keadaan masih mengantuk. Namun, alih-alih mengusrek wajahnya ke dada Mingyu seperti biasa, hanya dingin seprai terasa di telapak. Perlu sepuluh detik baginya mengerutkan alis untuk mengingat bahwa Mingyu pulang ke rumah orangtuanya semalam.
Minghao kembali merebah, menghadap samping. Rambut hitamnya tergerai acak di atas katun putih gading. Ia memejamkan mata.
Jadi begini rasanya hidupnya selama dua tahun ke depan...
Minghao menghela napas.
Mengerikan... Padahal mereka baru sebulan memulai hubungan, tetapi ia sudah terlalu terbiasa bangun dalam dekapan Mingyu, terlalu terbiasa dengan hangat sentuhan, lembut ciuman, dan tatapan mata Mingyu... Tatapan yang menyatakan dirinya adalah seluruh dunia lelaki itu...
Ia merapatkan kaki dan lengannya, mendadak merasa dingin meski selimut Mingyu tergolong tebal.
Mingyu....
Mingyu, Mingyu, Mingyu....
Bahkan mengingat senyumnya saja, mengulang namanya di kepalanya saja, jantung Minghao berdebar kencang dan pipinya merona. Ingin menangis oleh luapan emosi.
He fell so in love with him, it's almost as if it is a joke...
Ini adalah keputusannya, paham. Hal yang ia pikirkan baik-baik dengan berbagai alasan. Selain kesempatan berkarir dan belajar lebih banyak, ia pun takut kalau terus seperti ini, suatu hari, mereka akan jenuh.
Yang namanya hubungan pasti ada pertengkaran. Dan ketika itu terjadi, mereka tidak bisa kabur kemanapun untuk berpikir jernih karena meja kerja mereka bersebelahan. Apalagi, Mingyu menawarkan untuk tinggal bersamanya saja.
Makanya, Minghao ingin mengambil kesempatan ini. Ia yakin inilah jalan yang benar. Bukannya ia tak ingin bersama Mingyu, tetapi ini adalah hal yang harus ia lakukan demi masa depan mereka berdua.
Cinta bukan berarti harus bersama terus-terusan.
Paham. Ia paham. Mingyu juga paham dan mendukungnya. Mereka dua orang dewasa dengan logika.
Paham.
Namun,
tetap saja,
sakit....
โHiksโโ
Di tempat tidur Mingyu, Minghao terisak, mengeluarkan rasa sakit yang ia tahan di hatinya sampai habis tanpa sisa, agar ia bisa tersenyum malam nanti di pesta pernikahan Jihoon dengan kekasihnya yang tampan dalam genggaman.