narrative writings of thesunmetmoon
Wonwoo terbangun oleh sentuhan halus di mukanya. Angin sepoi-sepoi membelai rambutnya dari jendela yang dibuka. Harum bunga di bawah siraman sinar mentari pun tercium. Ada suara kuyu seekor kucing, lalu pergerakan di bagian kaki tempat tidur, sebelum kucing itu melungkar, menaruh beban tubuhnya di sisi kaki Wonwoo.
Telapak tangannya lembab. Jantungnya berdentum keras. Hari pertama di kantor baru. Dia duduk bersama beberapa trainee lainnya di ruang meeting utama yang besar. Mereka semua direkrut secara bersamaan untuk posisi yang sama, sebagai MT. Dari awal mereka akan diajari, diolah di semua bidang agar bisa ditempatkan di departemen-departemen yang sesuai. Mungkin setelah satu tahun, Joshua akan ditempatkan di sales, atau di marketing, atau di mana saja sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Sebuah mobil berhenti di depan sekolah di kota lain. Darinya, turun seorang wanita dan seorang pria. Lalu, seorang anak lelaki. Remaja, menuju dewasa muda. Anak itu menatap dua orang lainnya, yang adalah orangtuanya, tepat di mata, lalu pandangannya turun ke sepasang sepatunya. Wajah anak lelaki itu penuh lebam biru bekas pukulan, juga tamparan. Miris melihat anaknya dalam keadaan seperti itu, sang ibu mengelus bahu si anak, air matanya mengancam untuk meleleh menuruni pipi.
Cericip burung menyambut pagi terdengar dari luar jendela Joshua. Matahari jatuh lembut di atas dua tubuh yang berbaring bersama dalam pelukan. Bahkan di dalam tidurnya, Wonwoo nggak melepaskan Joshua sedikit pun.
Ketika Joshua tiba, terengah, rumahnya sudah sunyi sepi. Ibunya membukakan pintu dengan tenang karena pesan dari Joshua sebelumnya.
“Mah.”
Ibu dan anak berpelukan untuk sesaat. Ibunya Joshua mengusap wajah anaknya yang kacau, lalu mengecup pipinya.
“Dia di kamar kamu, Sayang.”
Mengangguk dan, tanpa banyak bicara, Joshua naik ke lantai dua, ke kamarnya.
⛔🔞 NC-17
“Hai...”
Mata Joshua membuka perlahan untuk menemukan Wonwoo dengan muka bantalnya, tersenyum malas padanya. Rambut hitamnya berantakan akibat ulah Joshua semalaman. Kacamatanya selamat di nakas samping tempat tidur. Lengannya menjuntai santai dari pinggang Joshua. Suaranya serak dan rendah. Ditimpa cahaya mentari pagi, Wonwoo tampak sangat indah.
Hari ke-tujuh. Wonwoo dan Joshua bertandang ke tempat-tempat yang lama nggak mereka datangi. Dengan santai menyusuri kota di jam mendekati makan siang (karena, tentu, mereka baru bangun jam 9 pagi), mereka menaruh bokong mereka di restoran kecil namun populer di antara warga lokal. Memesan menu makan siang spesial hari itu, kedua sahabat itu pun bertukar cerita akan hal-hal remeh (“kemaren animenya kurang seru, besok-besok kita tonton judul lain!”) maupun hal yang mereka lewati karena sempat renggangnya tali silaturahmi mereka (“bukan, yang nikah itu anak dari adek sepupu nyokap gue, bukan si anu kok”). Mereka mengisi celah yang ada dan kembali, sekali lagi, menjadi dua orang sahabat sekaligus tetangga sejak kecil.
“Lo nggak takut?”
Mereka sedang di rumah Wonwoo. Ibunya memasak makan malam dan mengundang Joshua sekeluarga. Sekarang, orangtua mereka masih makan di dalam, sedangkan Wonwoo dan Joshua duduk-duduk di teras belakang. Dari sini, nampak kuburan Nyingnying yang dipenuhi bunga segar dari Joshua. Meski usianya pendek, Joshua harap kucing itu bahagia selama hidupnya.