Pianis yang dipanggil untuk menghibur para undangan di pesta Tuan Lee amat pandai memainkan instrumennya. Dentingan piano memenuhi ruang-ruang kosong yang tercipta, begitu juga dengan gesekan senar biola, mengalun indah menemani riuh-rendah obrolan para warga kota petang itu. Meski diakunya sebagai pesta sederhana, tokoh-tokoh masyarakat penting berdatangan ke kediaman megah Tuan Lee dalam balutan jas dan topi tinggi. Berpegangan di lengan mereka adalah para wanita dalam gaun-gaun sutra terbaik. Suasana di pesta itu sangat ceria dan bersahabat, sebagaimana sifat sang tuan rumah sehari-hari.
Dentingan pisau dan garpu, juga gelas kristal saling bertemu, terdengar merdu memenuhi ruang makan utama kediaman Tuan Lee yang megah. Jamuan makan siang sederhana yang diadakan untuk beramah tamah dengan para tetangga sekitar itu sudah berlangsung sekitar empat puluh menit. Kim Mingyu tengah memotong hidangan ikan yang dikeluarkan: daging makarel yang direbus lalu dipanggang sejenak, dilumuri oleh saus kuning terbuat dari sari jeruk, cuka dari perkebunan tuan rumah, serta sedikit wangi mint, ketika pertanyaan tersebut muncul ke permukaan. Gerakan tangannya refleks terhenti untuk menatap lelaki Beta tua yang ramah di kepala meja.
Kali ini, pintu membuka hampir tanpa suara. Malam telah turun berjam-jam sebelumnya, namun bagi idol macam mereka, siang dan malam tidak memiliki parameter tertentu. Anak sekolah mungkin akan mengantuk di jam 12 malam, karena besok pagi mereka harus bangun dan bersekolah lagi, sedangkan mereka melihat jam di dinding menunjukkan pukul 12 malam dan yang mereka lakukan adalah mengambil handuk serta botol air, lalu turun ke gym di bawah, bahkan ketika mereka ada jadwal esok paginya.
Pintu menjeblak terbuka dan Seungcheol hampir melempar handphonenya. Berdiri di ambang pintu adalah Wonwoo, lelaki yang membuatnya sedih akhir-akhir ini. Seungcheol menatapnya bingung. Wonwoo tetiba mengencangkan rahang saat matanya melirik ke bagian komputer dan kursi gaming yang tinggal satu.
Ngantuk. Ngantuk banget. Tanpa ditonton, Joshua sengaja menghidupkan televisi sambil maenan hape, menunggu kedatangan Soonyoung. Kost-an Joshua adalah sebuah kamar sederhana. Begitu pintu dibuka, ada jeda kecil yang Joshua jadikan ruang menonton dan makan dengan menggelar karpet bulu imitasi serta bantal-bantal bundar di depan sebuah televisi kecil harga sejutaan. Tentunya nggak ada meja selain untuk menaruh televisi tersebut.
Di bagian bawah apartemen murah bertingkat enam itu ada sebuah taman sederhana yang dimaksudkan untuk penghuni beristirahat sejenak di antara pepohonan. Meski tidak serindang dan seindah yang diharapkan pada awalnya, setidaknya ada bangku panjang dari kayu yang muat untuk diduduki tiga orang dewasa sekaligus. Namun, keberadaan taman umum yang tidak jauh dari situ membuat taman apartemen hampir selalu sepi manusia, sehingga Jeon Wonwoo dan Kwon Soonyoung dapat duduk di sana untuk menenangkan diri.
(“Tapi, asli, seneng banget Gyu ngeliat Bang Won ngajarin Abang masak nasi.”
“Eh?”
“Iya, soalnya Bang Won tuh galak kesumat kan. Senggol bacok gitu orangnya. Kayak kena batunya dia kudu ngajarin Abang pake seluruh kesabaran yang dia punya wkwk.”
Maaf ya, Ma, Wonu baru hubungin Mama. Wonu takut, Ma. Takut Mama masih marah karena Wonu pergi dari rumah. Takut Papa juga bakal ngamuk kalo Wonu hubungin Mama. Maafin Wonu karena Wonu cuma berani nulis surat ke Mama. Maafin Wonu ya Ma.