Part 7
“Ah! Akhirnya!”
Setelah bisa menenangkan diri, membenahi penampakannya hingga kembali menjadi sang Omega tanpa cela, Joshua Hong pun melangkah balik ke ruang pesta. Dia hendak mencari ibunya, memintanya untuk pulang karena perasaannya keburu nggak enak, tapi malang, seseorang yang cukup merepotkan malah menemukannya duluan.
Joshua menoleh, lalu memaksa tersenyum. Yoon Jeonghan. Satu-satunya Omega lain yang dia kenal sejak pindah ke negara ini.
Joshua bertemu Jeonghan nggak sengaja pas dia ke tengah kota saban hari, berbelanja pakaian, buku-buku dan bahan makanan bersama ibunya. Omega itu yang menyapanya duluan, memperkenalkan diri dengan tingkat kepedean di atas rata-rata. Santai, luwes, namun ada nada memerintah tersirat di ucapannya. Terus terang, Joshua Hong kaget. Mana dia pernah mengira bahwa ada Omega sebegini pongahnya bisa hidup dengan damai di dunia.
Ah. Right. Beginilah realita di negara ini.
Sungguh, sungguh aneh.
“Tuan Yoon—”
Yoon Jeonghan menggoyangkan telunjuknya mengikuti decakan lidah, “Ck, ck, ck,” Omega itu mengerutkan kening. “Jeonghan. Bukan Tuan Yoon. Aku sudah kenyang diperlakukan bak porselen mudah retak oleh tunangan dan sahabatku. Kau seharusnya jadi angin segar dalam hidupku, Hong, bukannya malah menjadi mereka.”
Sumpah deh, Joshua nggak paham apa mau Jeonghan darinya.
“Maaf, Tu—” cepat, lidahnya menyelamatkan hari. “—Han. Jeonghan.”
Omega yang namanya disebut itu mendengus puas, senang mendengar namanya dipanggil lagi. Iya, dia punya nama. Nama indah, berkah dari orangtuanya. Setelah Seungcheol lebih senang memanggilnya dengan 'Sayang', dia berharap akan ada orang lain muncul di dalam hidupnya yang nggak akan membuat nama itu hilang lagi.
“Bagus. Ke mana saja kau? Aku mencarimu!” digamitnya pergelangan tangan Joshua sebelumnya diseretnya ke sebuah sudut ruangan. “Aku ingin memperkenalkanmu dengan seseorang.”
Terseok-seok, Joshua mengikutinya tanpa protes, karena dia bukan tipe orang yang berjuang di medan perang di mana dirinya sudah tau kalau dia bakal kalah. Dia tau akan percuma melawan Jeonghan bila Omega itu sudah berkehendak. Dengan cepat, Joshua menemukan dirinya berhadapan dengan dua punggung lebar yang membelakangi mereka.
“Tuan Lee, aku harap Anda tidak keberatan kalau aku mengambil peran Anda sebagai tuan rumah sekali ini saja,” bersamaan dengan ucapan Jeonghan, kedua punggung tersebut berbalik. Salah satu pemiliknya adalah lelaki tua Beta yang Joshua sudah kenal betul, mengenalkannya ke mana-mana bagai bunga di padang rumput penuh kupu-kupu penasaran. “Aku ingin memperkenalkanmu pada sahabatku.”
Begitu punggung yang satu berbalik, barulah kedua bola mata Joshua melebar.
“Hong, ini Kim Mingyu. Sahabat lamaku.”
Bola mata Alpha itu juga nggak kalah lebarnya.
“Kim, ini Joshua Hong. Kenalan baruku.”
Something old, something new. Something borrowed and something blue.
“Kuharap kalian berdua sama-sama belum punya partner dansa.”
Dan, bagai lelucon populer abad ini, grup pemusik di tengah ruangan mulai memainkan musik waltz. Para Alpha membungkukkan sedikit tubuhnya, mengulurkan tangannya dengan sopan pada partner mereka untuk mengajaknya berdansa. Rasanya waktu berjalan begitu lambat tetapi juga begitu cepat saat Alpha bernama Kim Mingyu itu ikut membungkuk sedikit dan mengulurkan tangannya pada Joshua.
Joshua bisa saja bilang kalau tatapan berharap Tuan Lee dan Yoon Jeonghan lah yang mendorongnya bertindak absurd begini, namun sentuhan tangannya pada tangan Kim Mingyu begitu nyata.
Besar.
Refleks, Joshua menepisnya. Terkejut, semua pihak yang terkait, termasuk Joshua sendiri. “Oh, gu—s-saya—” cicitnya. Muka menunduk semakin dalam oleh rasa malu. Padahal Alpha itu nggak menyentuhnya sama sekali di balkon. Padahal Alpha itu hanya meminta berdansa dengannya.
Padahal—
“Maafkan saya,” Kim Mingyu yang duluan menyatakan penyesalan. “Saya tidak bermaksud mengganggu Anda sebelum ini. Saya...saya tidak ada niat buruk selain rasa penasaran dan menemukan Anda....itu semata kebetulan.”
Joshua sadar itu memang kebetulan, tapi—
“Emm, kalau Anda begitu terganggu, saya permisi—”
“Tidak.“
Yoon Jeonghan menyela. Dia melingkarkan lengannya ke bahu Joshua, nggak peduli bagaimana Joshua membenci situasi ini.
“Ayolah, Hong. Hanya satu dansa? Kasihan sahabatku ini, dia tua dan menyedihkan, tanpa Omega dalam hidupnya yang kesepian. Satu dansa akan menghibur hati Kim Tua dan tidak merugikanmu apa-apa.”
“Tuan Yoon!” mulut Tuan Kim membuka. Sungguh kaget akan kelancangan yang baru saja didengarnya. “Astaga. Saya tidak— Tidak baik memaksa seperti itu—” Gelagapan, karena di satu sisi, ada Tuan Lee yang memperhatikan mereka dan paham benar bahwa Yoon Jeonghan, meskipun sahabat Tuan Kim, tetap calon suami raja mereka. Katakanlah, kalau Kim Mingyu menggores sedikit saja kulit Yoon Jeonghan, dia akan kehilangan lehernya.
Jeonghan, though, malah meringis makin jadi. Dia kemudian menunduk, berbisik ke telinga Joshua. Karena mereka sesama Omega, maka tindakan tersebut permisif di mata hukum. Bagaimanapun, nggak akan ada kekerasan bila Omega saling berkumpul dan berdekatan, beda dengan Alpha.
“Jangan takut,” bujuknya halus. “Dia Alpha terlembut dan tersopan yang kukenal seluruh hidupku. Aku tidak akan pernah mengumpankan temanku ke Alpha brengsek. Dan aku memintamu berdansa dengannya karena dia...tengah membutuhkan itu. Seseorang. Setidaknya, kupikir, satu dansa akan menghiburnya...”
Joshua nggak tau seberapa jauh yang didengarnya adalah kebenaran, namun perkataan itu membuatnya kembali menatap wajah Tuan Kim. Cemas dan rasa bersalah membayangi paras tampannya, bukan sesuatu yang Joshua harapkan muncul di wajah seorang Alpha. Sepanjang hidupnya, dia cuma pernah melihat kepongahan dan kemarahan, nggak lupa juga pandangan melecehkan, seakan dia lebih buruk dari binatang, atau, yang paling Joshua benci, adalah pandangan Alpha yang sedang melucuti seluruh pakaiannya dan membayangkan bagaimana Joshua akan sangat menurut di tempat tidur.
Joshua ketakutan. Dia begitu ketakutan. Dua tahun lagi dia akan berumur 18 dan, di negara asalnya, hampir nggak ada Omega usia 18 yang belum mengandung bayi seorang Alpha. Karena mereka adalah kelangkaan, maka para Alpha, terutama yang berkedudukan tinggi di negara, berlomba-lomba mencari dan mengekang Omega bagi dirinya sendiri. Alpha hanya bisa terlahir dari Omega, maka, apabila seorang konglomerat menginginkan keturunan Alpha untuk meneruskan kejayaan bisnisnya, dia harus memiliki seorang Omega untuk mengandungnya, nggak peduli apakah Alpha tersebut sudah memiliki pasangan sah dan anak. Kebanyakan dari Omega di negaranya berakhir sebagai gundik penghasil keturunan Alpha saja.
Karena itulah, adalah keajaiban Joshua Hong masih terjaga hingga di usia 16. Meskipun, tentu saja, kemalangan nggak jauh-jauh mengintai dan menemukannya beberapa bulan yang lalu.
Omega itu kembali menyelidiki Alpha di hadapannya. Tipikal Alpha, Kim Mingyu besar dan berisi di berbagai bagian tubuh. Lengannya besar dan kencang. Rahangnya keras dan terbentuk jelas. Memang nggak kelihatan sekarang, tapi Joshua yakin perut dan kaki Kim Mingyu akan sama berototnya. Namun, di saat yang sama, ada kelembutan di sana. Ada...sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi terasa. Bahwa Kim Mingyu juga merupakan sosok yang lembut dan nggak bisa menyakiti seekor serangga pun. Wajahnya, batin Joshua. Wajahnya lembut. Seperti anak-anak. Tentu, ada kerut-kerut hasil guratan usia di sana, tapi kesan inosen itu nggak hilang.
Dan, di atas segala, Kim Mingyu sama sekali nggak mengeluarkan feromonnya. Dikuncinya, dikontrolnya. Nggak ada niat Alpha itu memancing Joshua dengan feromon Alphanya.
Joshua Hong menghargai itu, segala tindak-tanduk terkecil sang Alpha untuk tau diri terhadap tempatnya sebagai orang asing, meskipun di hadapan Omega.
Seakan Omega adalah manusia.
Ragu-ragu, Joshua maju selangkah mendekati Tuan Kim. Alpha itu semakin kaget, namun bergeming. Masih menunduk, Joshua bergumam perlahan, “Kalau hanya satu dansa...”
Oh.
Kalo dia senyum, ada taringnya. Lucu.