Part 139: Epilogue
Epilogue
Epilogue
Benar saja.
Begitu Joshua menapak masuk kamar tidur barunya, ia langsung uring-uringan. Lenyap sudah bau feromonnya yang bercampur dengan feromon Mingyu. Lenyap sudah kenyamanan akan sarang mereka berdua yang selalu bisa menenangkan batin sang Omega.
Satu minggu kemudian, seluruh penghuni terpenting di istana dikumpulkan untuk diambil sumpahnya: bahwa mereka akan menjaga kerahasiaan misi ini hingga utas nyawa terakhir mereka. Mereka lah pihak-pihak yang dipanggil dahulu saat keabsahan Kim Mingyu dalam silsilah keluarga kerajaan pertama kali terkuak ke permukaan. Tuan Wen dan Tuan Kwon, Tetua Baek, para Dewan Tetua, Jenderal Min, Tuan Lee dan semua orang yang berkedudukan tinggi lainnya hadir di sana. Meski beberapa orang masih saja berbisik-bisik kala keputusan Tuan Raja mulai dibacakan, namun mereka semua tak ayal mematuhi perintah absolut pemimpin tertinggi kerajaan mereka.
“Terus terang, saya kurang yakin bisa memenuhi harapan Kakak, tapi bila memang ada satu hal yang bisa saya lakukan untuk membantu negara ini...”
“Mingyu...”
Joshua terbangun di tengah malam oleh kecupan-kecupan halus di lehernya. Sang Omega mengerang, mengulet sedikit karena kantuk yang mendadak saja buyar. Begitu kesadarannya kembali, ia menangkup pipi Mingyu, membuat sang Alpha mengusrekkan pipi tersebut ke tangannya. Lalu, mereka bercinta seperti itu. Lembut, pelan—suaminya membawa Joshua ke puncak dengan begitu indahnya, bahkan tidak melepasnya setelah bintang-bintang menghilang dari pandangan dan ia dihempaskan balik ke dunia. Mingyu terus memeluknya hingga keringat yang menempel di kulit mereka pun mendingin.
Detak jam besar berpendulum dari ruang tengah kediaman keluarga Kim memenuhi ruang-ruang besar yang sepi. Atas permintaan Joshua, para pelayan diliburkan dari tugas mereka sampai keadaan sang kepala keluarga menjadi lebih baik. Tuan Park, meski enggan meninggalkan tuannya, hanya menunduk dengan patuh. Ia mempercayakan tuannya itu ke tangan Omega pendampingnya, yang membuat Joshua tersenyum simpul mendengarnya.
“Nah, nah. Bagaimana kalau aku yang menambahkan dari sini, Bibi?”
Tetua Baek membaca dan membaca. Semakin ia menyerap isi jurnal tersebut, semakin dalam kerutan di antara keningnya.
Musim panas bulan ketiga, hari ke 17.