Part 139: Epilogue

#gyushuaabo

Epilogue

“Bunda!”

“Ada apa, Nara?”

“Ini, Kak Seongso nih!” ☹️

Yoon Jeonghan menaruh tehnya kembali ke tatakan. Udara musim semi di hari itu hangat, membawa bersamanya harum bebungaan yang baru mekar dari taman bunga kediaman keluarga Kim. Mereka semua berkumpul di sana untuk merayakan hari ulang tahun seseorang yang spesial: Keluarga Choi beserta Ibu Suri, Nyonya Hong, Vernon Chwe, keluarga Lee, keluarga Jeon, keluarga Lee dari negeri seberang dan keluarga Kwon. Sang Omega kemudian mendesah. Fokusnya pada kedua anak perempuan yang tengah bergulat tersebut (jika bisa dibilang begitu, karena lebih seperti Seongso yang menemplok pada Nara dan Nara yang cemberut tanpa henti).

“Bunda~ Kak Seongso tidak mau melepas Nara~ Bunda usir dong~” rengek putrinya itu.

“Kok aku diusir sih?!” kali ini, anak perempuan yang lebih tua yang protes. “Ya nggak pa-pa dong kalo aku nempel kamu?! Kamu kan tunangan aku?!”

“Iihh! Siapa yang mau jadi tunangan Kak Seongso sih??” 😡

“Ya Nara lah! Kata Mama aku, kalo emang udah takdir, ntar Nara jadi pengantinku!” 😡

“Iiihhh!!” 😡😡

Choi Nara. Kwon Seongso.”

Mendengar ketegasan dalam nada sang Omega, sontak kedua anak perempuan itu bungkam. Mereka otomatis memperbaiki posisinya, menanti untuk dimarahi. Namun, Yoon Jeonghan, alih-alih mendecak ketus, justru mengelus lembut kepala kedua anak tersebut.

“Jangan bertengkar lagi ya? Ini kan hari bahagia. Aku tidak ingin pertengkaran kalian merusaknya,” disuguhi senyuman hangat, mereka pun menunduk, merasa bersalah. Meski sering bertengkar, pada dasarnya, mereka adalah anak-anak yang baik.

Choi Nara, berusia sepuluh, benar-benar bagai pinang dibelah dua dengan ayahnya. Dari rambut hitamnya yang tebal dan bergelombang, bulu matanya yang begitu lebat, matanya yang bulat sampai bibirnya yang semerah apel. Sejak usia muda, kecantikannya telah terkenal hingga seantero negeri. Ia adalah gadis yang anggun, dibesarkan sebagai putri tertua kerajaan oleh nenek dan ayahnya. Meski begitu, darah ibunya menyelipkan jiwa pemberontakan dalam nadi, membuat kecerdikannya bagai buah simalakama—sebuah berkat atau sebuah petaka. Tugas Yoon Jeonghan lah mengajarkan pada putrinya bagaimana menggunakan kecerdikannya itu untuk memajukan negara.

Tapi, seanggun-anggunnya sang putri raja, ia hanyalah gadis kecil biasa di depan putri raja lainnya.

Kwon Seongso, sebelas. Aktif, ceria, kuat dan main seruduk sana-sini. Ia persis seperti apa yang diharapkan ibunya—macan betina yang menguasai semua yang diinginkannya. Perawakannya tidak mirip ayah maupun ibunya, lebih mirip neneknya, tapi jelas sifatnya keturunan siapa. Cukup egois, mengingat di usianya yang ke-tujuh, saat ia dibawa ke negara ini untuk pertama kalinya memenuhi undangan dari Raja Choi pada sekutunya, Raja Kwon, dan menetapkan pandangan pada putri Raja Choi, usia enam kala itu, ia langsung mengklaimnya sebagai calon pengantinnya.

“Mama,” ia berujar sambil menunjuk ke Nara, yang mengernyitkan alis. “Aku mau dia.”

“Seongso!” itu ayahnya. Sang Beta membekap mulut putrinya sambil tertawa salah tingkah. Ekspresinya meminta maaf. “Eh...ehehe. Maaf ya. Anak ini—”

“Oho? Apa ini?” Kwon Soonyoung malah melipat lengan di dada. “Macan Satu, kamu naksir Nara?”

Anak itu berhasil merenggut tangan ayahnya dan melepasnya dari mulutnya. “Naksir?” ditelengkannya kepala, tak paham. “Apa itu, Mama?”

“Itu artinya kamu mau nikah sama Nara.”

“Nikah...?”

Napa sih Mama suka pake kata-kata susah?? ಠ.ಠ

Kwon Soonyoung meringis, lalu menepuk-nepuk kepala putri sulungnya. Ia kemudian berkata pada Seungcheol, “Kak Cheol, gimana nih? Okein aja, apa, Seongso nikahin Nara? Kan dulu aku gagal nikah sama Kak Cheol. Bisa lah turunin ke anak kita.”

Siang itu pun ditutup dengan Seungcheol yang memeluk anak gadisnya, meminta Nara untuk tidak buru-buru menikah, padahal yang dipeluk hanya bisa berkedip-kedip karena tak mengerti apa-apa. Jeonghan menghela napas dan memarahi Soonyoung, memperingatinya agar tidak mengutarakan hal aneh seperti itu. Bagaimanapun, Seongso dan Nara masih kecil. Dasar Soonyoung, ia hanya meringis jahil semakin lebar.

Sedangkan Seongso? Anak itu terus mengejar Nara hingga saat ini.

“Jadi, apa jawaban kalian?”

“Baik, Bunda.”

“Siap, Paman!”

Sang Omega tersenyum untuk terakhir kalinya. Hiruk pikuk terdengar makin keras. Ia pun menggandeng kedua tangan gadis kecil itu dan kembali ke tempat acara diadakan, yakni di taman keluarga Kim, persis bertahun-tahun lalu ketika mereka merayakan ulang tahun Mingyu, meski pengunjungnya bertambah kali ini.

Di salah satu meja, Dokter Jeon terlibat diskusi seru dengan Jenderal Lee, sementara di sisi mereka, Chan dan Myungho memusatkan fokus pada Lee Yujun. Bayi itu tertidur pulas tanpa menyadari bagaimana kelahirannya yang melalui proses surogasi membuat Dokter Jeon takjub. Kemajuan teknologi di negara seberang benar-benar hebat sampai mereka mampu memunculkan bayi dari pasangan Alpha!

“Dan tanpa penetrasi?”

“Wonwoo!” Myungho memekik. Pipinya panas oleh ketidak sopanan suaminya. Berbeda dengannya, bola mata Jeon Wonwoo malah berbinar-binar.

Jenderal Lee mengangguk. “Technically, sperma tetap dimasukin ke vagina, tapi bukan melalui penis,” ia mulai menjelaskan. “Sebenernya bisa sih kalau mau pake sel telur dan sperma kita sendiri, nanti ibu inang cuma pinjemin rahim aja, but as you know, nggak ada yang punya sel telur di sini.” Jihoon terkekeh. “Jadi, yah, sperma kita berdua dicampur dan ditemuin sama sel telur ibu inang di laboratorium, terus disuntik ke rahimnya.”

“Hmm, seperti metode surogasi negara ini,” Dokter Jeon mengangguk-angguk. “Bedanya, di sini masih pakai cara biasa, melalui hubungan seksual.”

“Wow,” Chan memandang tak percaya. “Ngeliat suami kamu nidurin orang lain? Ada yang mau begitu ya?”

Myungho mengangkat bahu sambil lalu. Dokter Jeon meringis lebar sebelum menarik suaminya ke dalam pelukan. “Makanya, saya lebih baik tidak memiliki anak daripada orang lain melihat suami saya tanpa busana,” selorohnya santai. “Bisa-bisa saya cungkil bola mata ibu inangnya.”

Myungho gelagapan bagai ikan mas. Wajahnya merah padam.

“Jeon Wonwoo!!”

Chan tertawa keras, sedangkan Lee Jihoon memutar bola matanya.

Di meja lain, Lee Seokmin dan Betanya, Seungkwan, duduk bersama Wen Junhui. Di pangkuan Seokmin, seorang anak perempuan berusia setahun nampak kelelahan.

“Jinseol mengantuk ya, Nak? Ayah bawa ke kamar, mau?” Seungkwan menawarkan. Ia menatap putri yang mereka adopsi beberapa bulan lalu itu dengan raut cemas. Si anak mengusap matanya, lalu menguap.

“Papa,” anak lelaki bungsu keluarga Kwon yang duduk di pangkuan Jun kemudian mendongak.

“Hmm?”

“Seol ngantuk ya Pah?”

Jun terkekeh, “Kayaknya gitu. Kenapa, Jiho-ya? Mau kamu nyanyiin nursery rhyme yang baru kamu hafalin itu ya?”

Pipi anak lelakinya itu memerah. Ia senang sekali sudah bisa menghafal lagu itu dan ingin menyanyikannya terus-menerus, tapi kedua kakak kembarnya kerap menggerutu kalau Jiho menyanyikan lagu itu lagi. Kedua kaki anak usia enam tahun itu berayun, tidak tahu apakah jawaban yang benar adalah iya atau tidak.

“Eh? Jiho ingin menyanyikan apa memangnya? Boleh Paman mendengarnya?” seolah bisa mencium keengganan anak itu, Seokmin tersenyum ramah padanya, membuat si anak ikut tersenyum. Jiho suka Paman Seok dan Paman Kwan. Paman Seok sering tersenyum dan suka mengajaknya bermain tiap keluarga mereka bertemu. Meski Paman Kwan terkadang suka mengomel, tapi ia akan melemah ketika senyuman suaminya sudah muncul ke permukaan seperti ini.

“Jiho nyanyinya pinter lho,” Jun juga mendorong putra bungsunya. “Papa juga mau denger dong.”

Dengan pipi merona senang, anak itu pun membuka mulutnya, menyanyikan bait lagu anak-anak pengantar tidur. Suaranya lembut dan bernada tinggi, sebuah bakat yang terlihat sejak Kwon Jiho mulai bisa bersenandung.

“Lady Bird, Lady Bird,

Fly away home,

Your house is on fire,

Your children will burn~“

“Oh!” seru Seungkwan. “Saya tahu lagu ini! Lagu dari sini!”

Seokmin pun setuju. Sudah lama sekali semenjak ia mendengarnya disenandungkan oleh mendiang ibunya ketika masih kecil dahulu. Bersandar di bahunya, Jinseol pun mulai terlelap. Jun tersenyum. Meski bukan jenis lagu kanak-kanak yang ia ketahui dulu, ia ikut menggoyangkan kepala.

(Meski, ah, jika ditelaah, liriknya sungguhlah morbid, bukan?)

“Sing a Song of Sixpence,

A bag full of Rye,

Four and twenty naughty boys,

Bak'd in a Pye~”

Di sisi lain, Choi Seungcheol, Kwon Soonyoung, Ibu Suri, Nyonya Hong dan Kim Mingyu menatap agak cemas pada kedua anak lelaki tertua di kumpulan kecil mereka, Kwon Kibum dan Choi Yido.

Kwon Kibum berusia sama dengan kakak kembarnya, Seongso, berbeda hanya beberapa menit darinya. Selain matanya yang mengambil ibunya, ia adalah cetakan persis ayahnya, namun sifatnya berbeda seratus delapan puluh derajat dari kakaknya. Anak lelaki itu sering tersenyum. Pembawaannya santai dan cenderung pemalas. Ia menyukai alam, mewarisi jiwa pengembara dari ayahnya. Adalah hal biasa bagi Kibum menghilang hampir setengah hari penuh di hutan dekat istana dan kembali dengan oleh-oleh yang bahkan tidak diketahui Soonyoung dan Jun tumbuh di dekat mereka—bunga bakung yang mirip laba-laba, biji ek mungil, sebuah batu yang memantulkan cahaya, dan sebagainya. Jika diumpamakan, keberadaan Kibum seperti angin yang berhembus bebas.

Sedangkan Choi Yido tidaklah begitu. Anak lelaki itu berusia tujuh, tapi selalu menganggap Kibum yang lebih tua empat tahun darinya itu sebagai rival. Ia manja, keras kepala dan enggan mengalah. Kegemarannya adalah menemplok pada orang-orang, tak peduli situasi dan kondisi. Sumbunya pendek, mudah marah. Wajahnya mungil dan cantik, seperti ibunya, tapi meledak-ledak bagai cabai merah cilik. Neneknya—Ibu Suri—pernah berkomentar bahwa sifatnya mirip Seungcheol ketika masih kanak-kanak, yang lantas menuai protes dari yang bersangkutan.

Kini, mereka kembali melototi satu sama lain, seperti biasanya jika keluarga mereka bertemu.

(Yah, lebih ke arah Yido yang melotot tajam dan Kibum yang tersenyum santai sambil mengangkat dagu sengak, jelas menantang balik.)

Seungcheol menghela napas, begitu pula dengan Nyonya Hong. Ibu Suri hanya bisa memegangi pipinya, berharap ketegangan itu tidak mempengaruhi jalannya pesta.

“Maaf ya, Kak Cheol...,” Mingyu, gelisah di kursinya, langsung membuka mulut. “Ini salahku...”

“Kok jadi salah kamu sih, Gyu?” Kwon Soonyoung menimpali. “Bukan salah siapa-siapa lah. Mereka cuma bocah aja. Bocah keras kepala yang nggak saling mau ngalah. Oi, Macan Dua! Awas ya kalo kamu yang mulai berantem! Mama ngawasin kamu lho ya ini!” Telunjuk dan jari tengah Soonyoung mengarah ke matanya sendiri lalu diarahkannya ke putra tertuanya itu. Kibum hanya mengedikkan bahu sambil lalu, tidak terlalu ambil pusing.

Mengapakah dua anak yang harusnya berkawan baik itu saling menganggap satu sama lain sebagai rival?

Itu karena—

“Guys~ Tuan putrinya udah bangun nih~“

Tiba-tiba saja, Joshua berjalan keluar dari pintu bersama sahabatnya, Vernon. Dalam gendongan sang Omega, seorang anak perempuan berusia lima tahun terlihat disorientasi, masih mengumpulkan nyawanya antara dunia mimpi dan realita.

Wajah anak perempuan itu semanis ibunya. Dengan mata yang besar dan berkilauan, ujung hidung bagai bulatan menggemaskan, juga bibir merah kecil. Tubuhnya mungil. Ia mengenakan pita satin biru muda di rambut hitamnya yang lurus panjang. Gaunnya berenda dalam warna senada.

Kim Mingyu, kala melihat Omega dan putri tunggalnya, segera beranjak dari duduk. Hatinya melompat bahagia melihat kedua orang terkasihnya kembali ke keramaian. Ia mendekati mereka persis ketika Vernon tersenyum pada anak perempuan itu.

“Happy birthday, kiddo,” ujarnya. Ia mengelus pipi tembam si anak sebelum menepuk bahu Joshua, memberi salam yang sama pada Mingyu, lalu berbaur dengan tamu undangan.

“Hai,” dengan senyum jahil, Joshua menyapa suaminya.

“Halo, Sayang,” Kim Mingyu mengecup senyuman itu, tak kuasa untuk tidak merasakan bibir kekasih hatinya barang sehari saja. “Halo juga, buah hatinya Papa.” Kemudian, kecupannya beralih ke kening putrinya. Anak itu mengusek matanya, lalu mengulurkan kedua lengan ke ayahnya.

“Papa. Gendong.”

Oh, suaranya begitu lembut. Gantian Mingyu kini yang menggendong si anak. Dalam pelukan ayahnya yang tinggi besar, Kim Gyuri mendusel bahu ayahnya lalu menghela napas senang. Joshua hanya bisa mendesah melihatnya.

“I swear she likes you better than me,” tuduhnya. “Kalo digendong papanya, Gyuri kayaknya lebih anteng.”

“Gyuri suka Mama juga ah. Sama saja,” tawa sang Alpha. “Iya kan, Nak?”

“Mm~ Sayang Mama juga~” meski begitu, si anak malah menduseli bahu ayahnya lagi.

Mingyu tersenyum. Pandangannya pada putrinya begitu lembut, begitu penuh kasih sayang. Pandangan yang sama ketika ia menggendong bayi merah yang menangis itu untuk pertama kalinya.

Dan Joshua Hong jatuh cinta lagi pada suaminya.

Alphanya.

Yang lembut dan baik hati. Yang mencintainya tanpa mengharapkan apa-apa. Yang telah memberikannya kesempatan untuk berbahagia, sekali lagi. Kesempatan untuknya memperbaiki hidupnya yang pernah porak poranda.

Alpha yang telah memberinya seorang putri paling sempurna di dunia.

“Mingyu.”

“Hmm?”

Joshua Hong mengelus pipi Kim Mingyu.

“Aku mencintaimu.”

Dan ia menciumnya, sekali lagi.

(Namun kemesraan mereka tidak lah lama, karena Kwon Kibum dan Choi Yido sudah berada dekat mereka, berebut ingin menggendong Kim Gyuri. Ya, kedua anak itu menyukai Gyuri dan berniat untuk menikahinya ketika mereka besar nanti. Kelembutan hati Gyuri yang diwarisi dari ayahnya membuat semua orang menyayanginya, terlebih kedua anak itu. Namun, seperti semua anak usia lima di dunia, manalah ia paham cinta monyet seperti itu.

“Gak bisa,” jawabnya polos. “Gyuri maunya nikah sama Papa.”

Dan Joshua serta Mingyu tertawa lepas melihat ekspresi kedua pangeran muda itu.)


Kebahagiaan ini.

Seluruh kebaikan dalam kehidupanku ini.

Terima kasih.

Terima kasih, Kekasihku.

Terima kasih karena kau telah mencintaiku.


END 🫖☕♥️🎄🍪