Last Part

#woncheolshort

Kali ini, pintu membuka hampir tanpa suara. Malam telah turun berjam-jam sebelumnya, namun bagi idol macam mereka, siang dan malam tidak memiliki parameter tertentu. Anak sekolah mungkin akan mengantuk di jam 12 malam, karena besok pagi mereka harus bangun dan bersekolah lagi, sedangkan mereka melihat jam di dinding menunjukkan pukul 12 malam dan yang mereka lakukan adalah mengambil handuk serta botol air, lalu turun ke gym di bawah, bahkan ketika mereka ada jadwal esok paginya.

Maka, ketika Wonwoo akhirnya membuka pintu kamar itu, dia tidak terkejut melihat Seungcheol sedang bermain handphone dalam keremangan lampu tidur. Leader mereka itu biasa membombardir komen fans mereka di aplikasi di jam segini. Seungcheol hanya mengerling sekali untuk melihat siapa yang datang, sebelum lanjut menyelesaikan ketikannya. Wonwoo berbalik, menutup pintu kamar tersebut dengan tenang, lalu berjalan mendekati Seungcheol di ranjang.

Poff.

“Ugh—”

Berat. Wonwoo baru saja menghempaskan seluruh beban dari tubuh 182cm miliknya ke atas tubuh Seungcheol yang terbalut selimut. Lelaki itu menempel selekat bintang laut, memeluk Seungcheol sebisa mungkin. Meski mendecak kesal, Seungcheol berhasil menyelesaikan ketikannya, menekan tombol POST, lalu menaruh handphonenya ke nakas samping tempat tidur yang ditaruh untuk mengisi ruang kosong setelah dua komputer dan kursi gaming dikeluarkan. Di atas nakas itu, nampak botol air putih, cincin simbol grup mereka, dan sebuah buku.

Seungcheol mengubah posisi sedikit agar lebih nyaman ditiban Wonwoo, sementara mata lelaki itu menyipit melihat keberadaan buku di kamar Seungcheol. “Lo baca buku?” tanyanya, penasaran.

“Gue bisa baca, kali.”

“Maksud gue bukan gitu.”

Seungcheol menghela napas. “Iya, tau,” gumamnya. Ujung hidung Wonwoo menusuk kulit lehernya. Rambutnya, gabungan pirang pudar dan hitam, lembut terasa di pipi Seungcheol. Lelaki itu melingkarkan lengan di bahu Wonwoo, sementara Wonwoo mengalungi, sebisa mungkin, pinggang Seungcheol. “Nyoba baca. Rekomendasi Vernon.”

“Oh?” itu membangkitkan keingintahuan yang merupakan sifat dasar Jeon Wonwoo. “Pasti bukunya Vernon banget.”

Seungcheol meringis. “Yah, well, bisa dibilang gitu,” dia membenarkan. “Simpel, nggak ribet. Tapi ngena banget. I need that...for now...”

Kesunyian kembali jatuh ke kamar itu. Di luar, suara tapak kaki dan obrolan teredam masih terdengar. Ada yang sudah tertidur pulas. Ada yang melangkah ke kamar mandi. Mereka mendengar suara seseorang makan sambil menonton di ruang tengah. Dunia mereka. Dunia yang mereka bagi bertiga belas sejak awal.

Sementara, di kamar ini, adalah dunia Seungcheol dan Wonwoo semata. Suara detak jantung yang monoton. Hangat memancar menembus pakaian rumah mereka. Hembusan napas tenang nan teratur.

Wonwoo lupa, kapan terakhir kali dia mengalami semua ini. Lupa, kapan terakhir kali dirinya dan Seungcheol sedekat ini.

“Mingyu bilang, gue punya kepala yang bagus di atas leher gue,” gumamnya, merusak keheningan. “Tapi gue nggak merasa gitu. Gue ngerasa bego banget karena gue nggak ngerti. Nggak paham.

Sori. Gue cuma bisa, uh, mikir untuk lakuin ini buat ngehibur lo...”

Dieratkannya pelukan pada pinggang Seungcheol, yang membuat hati Seungcheol meleleh. He missed this. So bad.

“Gue kangen sama kita,” akunya.

Wonwoo menggumamkan persetujuan.

“Gue mau kita balik lagi, kayak dulu. Gue mau kita kayak...kayak gini lagi. Nggak harus sering-sering kayak pas masih sekamar, tapi at least—”

Diambilnya napas.

”—gue mau kita.”

Seungcheol menghembuskan napas dalam-dalam. “Sori...gue nggak bisa jelasin yang bener. Kayaknya, kalo sama lo, omongan gue keluarnya salah melulu, haha...”

Namun, Wonwoo paham. Dia juga mau ini. Dia juga kangen ini. Sebuah tempat nyaman yang dia pernah miliki bersama sosok yang berharga dalam pelukannya ini.

Mereka bukan sepasang kekasih. Bukan pula merasakan cinta antara kedua insan dimabuk romansa.

Bukan.

Cinta yang mereka miliki, yang ketiga belas mereka miliki, lebih dalam daripada itu. Dan, kini, Seungcheol dan Wonwoo sedikit kehilangan satu sama lain, tetapi mereka sama-sama tidak ingin kehilangan perasaan itu lagi. Cinta mereka bertiga belas istimewa. Hubungan yang tidak akan pernah bisa dimengerti siapapun selain mereka.

Wonwoo mengangkat kepala, menemukan Seungcheol sudah memandanginya. Perlahan, senyum mereka merebak, lega dan damai. Saling memahami, bahwa mereka ingin kembali, tidak sepenuhnya, tapi sedikit seperti dulu lagi, ketika mereka sangat akrab sebagai teman sekamar dan sesama gamer.

Wonwoo berakhir terlelap bersama Seungcheol malam itu, meski ranjang itu cukup sempit untuk dihuni dua lelaki dewasa. Dan, paginya, ketika Jeonghan masuk untuk membangunkan Seungcheol karena tuntutan jadwal, dia memutuskan untuk menutup lagi kamar itu, membuat Jun, yang melintas sambil menggosok gigi, bertanya-tanya.

Jeonghan, meringis, menjawab, “Nggak apa. Masih ada waktu. Ntar gue bangunin lagi. Cheollie lagi isi batere dulu.”

Tentu saja, Jun cuma mengernyitkan alis, tidak paham apa maksud lelaki itu.

(Jun paham, tidak lama kemudian, ketika lima belas menit setelahnya, Seungkwan memaksa masuk dan membangunkan Seungcheol dan juga Wonwoo, menyuruh mereka dalam suara lantang supaya segera bersiap-siap. Jun hanya ber-“aaah...” sambil mengangguk-angguk. Baguslah. Lebih baik memperbaiki sesuatu yang mulai rusak sebelum terlambat, bukan?)