Part 6

#gyushuaabo

DegDegDegDegDegDeg—

Jantungnya berdentum kencang dalam dada bagai genderang perang.

...Apa itu tadi??

Saat Joshua menemukan sesosok Alpha muncul di pintu menuju balkon, jantungnya rasanya melorot hingga ke perut. Nggak ada yang lebih buruk daripada tersudut berdua sama Alpha nggak dikenal ketika dia lagi dalam kondisi santai. Karena kaget, otaknya nggak bisa mencerna bahwa dirinya berada dalam situasi yang berbeda dari apa yang dialaminya dahulu kala. Bahwa ini bukanlah negara asalnya di mana Omega yang belum diklaim setiap hari harus berjuang mempertahankan kemurnian dirinya dari jamahan Alpha dan Beta.

Instingtif, feromonnya segera menyurut hingga hilang seluruhnya. Wajahnya mengernyit, sementara pegangannya pada pagar balkon mengerat. Jalan selanjutnya adalah merenggut kerah kemejanya, menutup lehernya dari arah pandang sang Alpha. Semua tindakan preventif untuk nggak menyulut hasrat seorang Alpha. Sialnya, Joshua nggak membawa semprotan merica kali ini, karena dia pikir dia bakal bersama ibunya sepanjang malam, karenanya dia aman. Apa boleh buat. Joshua dengan cepat melirik ke taman di bawah balkon.

Satu lantai...lumayan pendek.

Dia bisa melompat tanpa mengorbankan nyawa untuk melindungi dirinya andaikata sang Alpha mendekat.

Namun, sang Alpha nggak mendekat sama sekali. Dia hanya memandangi—uh, mereguk Joshua dari ujung rambut hingga ujung kaki bagai pria kelaparan, bibir terbuka sedikit dan raut wajahnya takjub. Di saat yang bersamaan, Alpha itu membuat Joshua kikuk, terganggu, tetapi juga tersanjung, terutama Omega di dalam dirinya. Joshua tau dirinya nggak semenarik Omega lain dan nggak ada Alpha yang bakal tertarik sama dia di luar gratifikasi seksual pribadi mereka karena sifatnya yang sulit untuk diatur, tapi Alpha itu,

Alpha yang—Joshua baru melihat sosok itu baik-baik—tinggi, tegap, kulit terbakar matahari dan sangat, sangat tampan itu,

secara aneh, sepertinya, tertarik pada Joshua.

Mungkin. Belum tentu.

Diam-diam dia meneguk ludah.

Oh, andai dia lepasin feromonnya—

Belum sempat Joshua menggeleng untuk mengenyahkan pemikiran barusan, sang Alpha mengangkat topinya, membungkuk sopan, kemudian berlalu. Begitu saja.

...Oh.

Rasanya adrenalin dalam tubuhnya langsung menguap sampai nggak membekas. Dia merosot ke sisi pagar, hampir memeluknya, dan duduk di lantai balkon. Dihirupnya dalam-dalam udara segar lalu dihembuskan kencang, berusaha menetralkan debaran jantungnya. Alpha itu bahkan nggak melakukan apapun, namun Joshua sudah hampir mau pingsan.

Diangkatnya tangan ke hadapan muka. Tangan itu gemetaran. Dengan tangan satunya, dia menggenggam tangan itu, menenangkan dirinya sendiri.

Ini bukan di sana.

Terus menerus diulang, bagai gramofon rusak.

Lo selamat di sini. Bebas. Ini bukan di sana. Alpha di sini beda sama Alpha di sana.

Sebagian sisi rasionalnya mendengus meremehkan. Sesuatu mengenai kelakuan Alpha saat hasrat membara, pun egonya, akan sama saja, terlepas dibesarkan di masyarakat seperti apa, melintasi kepalanya. Joshua membungkam suara itu dengan buru-buru meraih gelas dan menenggak Champagne di dalamnya.

Lihat? Alkohol membuatnya waras.