Part 1

#gyushuaabo

“Tuan Kim, apa Anda sudah dengar?”

Dentingan pisau dan garpu, juga gelas kristal saling bertemu, terdengar merdu memenuhi ruang makan utama kediaman Tuan Lee yang megah. Jamuan makan siang sederhana yang diadakan untuk beramah tamah dengan para tetangga sekitar itu sudah berlangsung sekitar empat puluh menit. Kim Mingyu tengah memotong hidangan ikan yang dikeluarkan: daging makarel yang direbus lalu dipanggang sejenak, dilumuri oleh saus kuning terbuat dari sari jeruk, cuka dari perkebunan tuan rumah, serta sedikit wangi mint, ketika pertanyaan tersebut muncul ke permukaan. Gerakan tangannya refleks terhenti untuk menatap lelaki Beta tua yang ramah di kepala meja.

“Mengenai apakah, Tuan Lee? Saya baru saja melintasi lautan selama sebulan dan tiba di sini dua malam yang lalu. Mungkin ada beberapa kabar yang belum mencapai telinga saya,” sang Alpha tersenyum, kontras geligi putih terhadap kulit kecoklatannya.

Kim Mingyu, meski darah yang mengalir dalam nadinya begitu biru sejernih mata gadis berambut pirang yang ia temukan di sepanjang jalan negara lain, kulitnya sewarna tembaga yang cerah nan sehat ditimpa sinar mentari. Ia adalah anomali di antara orang-orang pada status sosialnya, yang menjaga kulit mereka seputih salju sebagai bukti kehidupan mewah yang mereka jalani dalam hidupnya. Tidak ada yang tahu pasti apa tepatnya kedudukan maupun pekerjaan Tuan Kim, namun para tetangga mengetahui fakta bahwa Tuan Kim adalah seseorang yang teramat kaya dan senang bepergian ke mana langkahnya membawa.

Petualang, simpul mereka, dalam suatu pertemuan untuk bermain bridge. Mungkin botanis. Saya tahu mereka suka menjelajahi hutan-hutan di pelosok terpencil untuk menemukan spesies tetumbuhan baru. Yang lain menimpali, Omong kosong. Saya tahu persis Tuan Kim memiliki mobil yang indah dan begitu cepat. Dia pasti berkeliling dunia menaklukkan pembalap lainnya. Mereka bertukar pikiran, mengumpulkan secercah demi secercah informasi yang mereka dapatkan akan tetangga mereka yang muda dan misterius tersebut.

Akhirnya, mereka menyepakati bahwa Tuan Kim adalah cucu satu-satunya dari konglomerat tua yang mungkin telah tiada dan mewariskan seluruh harta dan asetnya pada sang Alpha, sehingga ia tidak perlu bekerja seumur hidupnya dan bebas bepergian untuk pelesir kemana saja. Sebuah kesimpulan yang, tanpa diketahui mereka, tidak menyimpang terlalu jauh.

“Ada Omega baru di kota.”

Perhatian Kim Mingyu kini tercuri sepenuhnya. Omega baru! sahutnya dalam hati. Meski begitu tertarik akan topik yang dilemparkan, ia menaruh pisaunya dengan tenang, menyeka mulut dengan serbet pada pangkuan, lalu bertanya begitu sopan.

“Begitukah? Saya belum tahu mengenai itu.”

“Ah, saya tahu yang Anda maksud, Tuan Lee,” di seberangnya, Nyonya Kang menimpali. Wanita itu terkikik mengingat kejadian yang ia alami akhir pekan lalu. “Saya melihatnya saat melintasi alun-alun kemarin dulu. Begitu cantik! Begitu memesona! Oh, memang Omega tiada duanya.” Kemudian, ia mendesah sedih. “Andai Beta seperti saya bisa memiliki kecantikan serupa...”

Sedikit kerutan pada kening adalah pertanda Kim Mingyu semakin tertarik akan topik pembicaraan mereka.

“Apakah dia seorang wanita?” tanyanya.

“Oh, tidak, tidak, seorang pria, Tuan. Begitu indah dipandang mata. Bukankah begitu, Tuan Lee?” Nyonya Kang menoleh ke tuan rumah, yang mengangguk membenarkan dengan keceriaan berlipat ganda.

“Benar sekali, Nyonya Kang! Saya setuju!” ucapnya, sama bersemangat. “Saya menyambut mereka di kediaman saya ini ketika mereka tiba. Nyonya Hong dan anak lelakinya. Anak lelaki itu persis seperti yang Anda deskripsikan, Nyonya Kang, pengamatan yang cermat sekali!”

Nyonya Kang, tersipu menerima pujian itu, terkikik lagi.

“Sepertinya dia masih muda?” Kim Mingyu melanjutkan, sambil lalu. Ia meraih gelas wine berisikan Chardonnay dingin yang baru saja dituang seorang pelayan, mengangkatnya untuk diputar tiga kali, dihirup aromanya, lalu dihabiskannya dalam sekali tegukan besar.

“Pelajar.”

Ah.

“Dia dan ibunya datang dari negara lain. Mereka datang ke saya karena mengenal reputasi saya di area ini, untuk memperkenalkan diri, lebih tepatnya,” dielusnya kumis yang klimis di wajahnya. “Sesuatu mengenai pepatah negara asalnya bahwa mengenal tetangga akan lebih baik ketika dibutuhkan?” Nadanya tidak yakin, namun penghuni meja makan tidak terlalu menghiraukannya.

“Apakah Anda akan memperkenalkannya pada pesta akhir minggu ini, Tuan Lee?” Nyonya Kang bertanya lebih lanjut.

“Oh, saya tidak berpikir sampai sana, Nyonya Kang. Begini, anak muda itu—”

“Menurut saya,” Kim Mingyu memotong. “Pasti akan sangat menyenangkan bagi kita semua mengenal Omega baru itu dan bagi dirinya memiliki wajah-wajah familier di negara yang asing ini.”

“Yah, tapi, Tuan Kim—”

“Ooohhh! Saya akan menemui penjahit saya petang ini, kalau begitu. Saya harus berpakaian yang pantas. Pasti akan sangat menyenangkan!”

Menyerah oleh luapan antusiasme Nyonya Kang yang kemudian menyebar sepanjang meja makan, Tuan Lee hanya bisa mendesah perlahan sambil berpikir untuk segera meneruskan undangannya ke Nyonya Hong dan anaknya, berdoa semoga mereka menerima undangan tersebut. Tanpa disadari siapapun di meja, Kim Mingyu melanjutkan makannya dengan senyuman kecil terpateri di wajahnya hingga perjamuan usai.