4.
“AAAAHH CHEOLLIE, DENGERIN GUE DOONGG~“
Lamunan Wonwoo buyar oleh keluhan Joshua dan suara tawa Seungcheol. Anak itu diam-diam menggelengkan kepala, membuang memori yang tanpa dinyana mengambil alih isi kepalanya.
narrative writings of thesunmetmoon
“AAAAHH CHEOLLIE, DENGERIN GUE DOONGG~“
Lamunan Wonwoo buyar oleh keluhan Joshua dan suara tawa Seungcheol. Anak itu diam-diam menggelengkan kepala, membuang memori yang tanpa dinyana mengambil alih isi kepalanya.
Ada sebab kenapa Wonwoo kini menghindar dari abangnya dan sahabat abangnya itu.
Pertama Seungcheol membawa Joshua pulang ke rumah adalah ketika Wonwoo duduk di kelas 3 SD. Melihat orang asing di meja makan keluarganya membuat Wonwoo diam seribu bahasa. Menutup, bagai tumbuhan putri malu. Bahkan saat ibunya menyuruhnya berkenalan dengan Joshua, anak itu diam seribu bahasa. Hari pertama mereka bertemu, Wonwoo hanya mencuri pandang persis tiga detik sebelum mata Joshua menangkap pandangannya. Anak itu refleks menunduk dan lanjut makan.
“JE. ON. WON. WOO.”
BRAK!
Spontan, anak berkacamata itu menoleh ke arah pintunya yang mendadak menjeblak terbuka. Sudah bisa ditebak siapa pelakunya dari kaki yang menjulur santai seolah tidak baru saja menerabas tanpa ijin ke kamar Wonwoo, melanggar privasi yang ia ciptakan sejak ia mendapat kamar sendiri, terpisah dari Seungcheol.
“Oh.”
“Oh??“
“Hyung!”
“Hey.”
Satu pelukan besar dipertukarkan. Chan mengabaikan lelaki itu yang kini tengah bercakap-cakap dengan lelaki lain yang jauh lebih muda dan memetakan apa yang bola mata hitam jernihnya tangkap. Langit-langit yang tinggi. Dinding berplester putih yang sudah rontok di beberapa tempat, serta meja kayu panjang lengkap dengan bangkunya. Kasak-kusuk orang di pojok sini dan sana. Pengaduk minuman yang mengaduk sendiri—
—wanjir?
Deg-degan.
Deg-degan nggak sih loo?? Deg-degan pake banget. Chan nggak tau—MANA MUNGKIN TAU JUGA SIH, MOHON MAAP NIH—kalau dia, yang notabene lahir dari peraduan dua muggle, bisa menerima surat undangan dari sekolah sihir (yang katanya sih) ternama.
Hogwarts.
Seorang Omega berada dalam genggam tangannya. Tuan Kim melonggarkan, sebisa mungkin, tangan yang menumpu tangan sang Omega, berharap tidak terlalu menekan. Bahkan ia hampir tidak menyentuh punggung Tuan Hong. Ia tidak menginginkan pasangan dansanya merasa terperangkap bersamanya. Melihat senyuman kecil muncul di wajah indah itu, Tuan Kim menepuk dirinya sendiri secara mental di punggung, menyelamati diri bahwa ia telah mengambil langkah yang tepat.
Rapat darurat.
“Oke, ini serius.”
Dalam kamar kost Mingyu, Minghao duduk bersila di depan dua orang sahabatnya, yang satu duduk sambil melipat lengan di dada dan yang satu lagi membebat dirinya dengan selimut sampe mirip burrito raksasa. 187cm burrito bisa bikin satu kampung kenyang, just saying.
Lengket.
Iya, lengket. Lengket dan lembek, tapi alus. Bingung juga gimana dia harus jabarin bibir Wonwoo di pipinya selain anget. Anget, pertama, terus lengket, kedua, terus lembek yang ketiga.
...Bentar, kenapa jadi kayak ngomong jorok ya?
Sakit kepala.
Jepret.
Kelar makan siang berupa tsukemen saus mala—
(“BANGSAD, LU PESENIN GUE APAAN?? FAK PEDES BANGET???”)
(“WKWKWKWKWK”)
(“ANJING, KIM MINGYU, FAK!”)
(“WKWKWKWKWKWKKWKWKWWK”)
Jeglek!
“Oh?”
Dari balik kotak martabak, muncul wajah Kim Mingyu nyengir lebar. “Bunga kagak bisa dimakan. Nih gue bawain lu martabak telor,” selorohnya.
Wonwoo cuma mendengus.