1. 🦦—

#hogwartsau

Deg-degan.

Deg-degan nggak sih loo?? Deg-degan pake banget. Chan nggak tau—MANA MUNGKIN TAU JUGA SIH, MOHON MAAP NIH—kalau dia, yang notabene lahir dari peraduan dua muggle, bisa menerima surat undangan dari sekolah sihir (yang katanya sih) ternama.

Hogwarts.

Bersegel lilin merah, ditulis tangan dengan tinta hijau dan diantarkan oleh penyihir BETULAN. Anak usia 11 tahun itu bisa membayangkan penyihir berjubah dan bertopi runcing menggoreskan ujung pena bulunya di lembaran perkamen di tengah ruangan bersinarkan temaram lilin bagai di film-film, susah payah menata kurva huruf sambung hanya untuk mengundang seorang anak bernama Lee Chan memasuki sekolah mereka.

Aduh, jadi mau terharu, makasih lho 🥺

Eniwei, ayahnya lagi kebingungan. Ibunya mendumal di sampingnya. Belum kelar keheranan mereka akan fakta anak lelaki tertuanya masuk sekolah sihir—

(“...Ini tuh kamu mau diajarin jadi dukun apa jadi pesulap apa jadi ahli nujum apa gimana sih, Papa kurang paham.”)

(“Semacem itu kali ya Pah.”)

(“Sayang. Liat mata Mama. Kamu serius mau masuk sekolah ini?”)

Jawabannya: Mereka berdiri di depan deret panjang tembok batu bata, menggaruk kepala. Ada peta yang diselipkan di dalam amplop dari Hogwarts akan suatu tempat bernama—err—Diagon Alley??

Itulah.

Meski sudah dijelaskan proses mencapai tempat itu oleh penyihir yang mengantarkan surat, tapi mah tetap aja. Nyasar.

“Aneh banget.”

“Gimana dong?”

“Di peta nggak ada, Pah?”

“Ya ada, tapi gini nih, Nak—”

“Permisi.”

Chan berputar cepat mirip gansing, hampir menabrak orang yang menegur mereka barusan. Lelaki bertubuh agak gempal yang mendekati mereka itu masih muda, tapi bukannya remaja juga. Lelaki itu tersenyum ramah. Setelan kemejanya cokelat tua dan agak kusam. Gaya berpakaiannya terlalu kuno untuk orang seusia dia.

“Ya?” ayah Chan mengernyit, refleks memegangi pundak putranya. Gestur menjaga.

“Saya lihat Anda semua kebingungan? Ada yang bisa saya bantu?”

“Maaf, tapi kami tidak kenal Anda,” ibu Chan menyela sambil menatap orang itu penuh curiga.

Lelaki itu malah tertawa. “Maaf, maaf. Nama saya Beom-ju,” dia menunjuk amplop bersegel di tangan Chan. “Saya lihat anak Anda mendapat surat dan Anda dari tadi bolak-balik depan Kuali Bocor. Mungkin saya bisa bantu.”

Mereka mengerjapkan mata.

“Kuali...apa?”

“Bocor,” lelaki itu menunjuk ke belakang mereka. “Itu nama pub ini.”

Otomatis, mereka membalikkan badan. Dan, benar saja, tanpa diduga tanpa dinyana, berdiri sebuah bangunan di sana. Kecil, dengan pintu tinggi dari kayu. Tertulis The Leaky Cauldron di papan nama yang berayun-ayun tertiup angin bulan September. Bangunan yang, Chan yakin, semenit lalu belum ada.

“Wow...”

Beom-ju kemudian tersenyum. “Mari. Silakan masuk,” ujarnya, dengan pasti melangkah ke ambang pintu tersebut.

“Berarti Bapak...penyihir juga?” Chan mendongak. Di samping lelaki itu, ia nampak begitu mungil.

Tawa yang terdengar kemudian besar dan ramah. Tangan yang menyapu rambut Chan pun hangat.

“Kebetulan,” jawabnya. Bel di atas pintu berdendang ketika daun pintu membuka. “Saya pengajar di Hogwarts.”