2. 🦦—

#hogwartsau

“Hyung!”

“Hey.”

Satu pelukan besar dipertukarkan. Chan mengabaikan lelaki itu yang kini tengah bercakap-cakap dengan lelaki lain yang jauh lebih muda dan memetakan apa yang bola mata hitam jernihnya tangkap. Langit-langit yang tinggi. Dinding berplester putih yang sudah rontok di beberapa tempat, serta meja kayu panjang lengkap dengan bangkunya. Kasak-kusuk orang di pojok sini dan sana. Pengaduk minuman yang mengaduk sendiri—

—wanjir?

Kucek-kucek mata.

...beneran ngaduk sendiri dong.

“Hyung bareng siapa?”

“Oh. Ini, aku tadi ketemu di depan. Kayaknya lagi bingung. Eh, Pak, Bu, dan, hmm—namamu...?”

“Chan!” kaget, anak itu spontan menjawab. Suaranya meninggi secara alamiah. “Aku Lee Chan, Pak Guru!”

Profesor,” lelaki yang lain menjawabnya. Dia berdiri di balik konter dengan lengan melipat di dada. Matanya mirip bulan terbalik kala tersenyum. “Bukan pak guru, tapi profesor. Kamu anak tahun pertama?”

“Eh?”

“Hogwarts,” lelaki itu juga menunjuk amlop surat di tangan Chan. “Kamu murid baru?”

“Eh-ah-iya!” anak itu pun mengangkatnya. “Keluargaku didatengin penyihir. Perwakilan, katanya. Bilang aku diundang masuk Hogwarts, katanya. Makanya aku ke sini bareng Papa Mama.”

Lelaki itu kemudian mengangguk, menyapa dengan hormat pada orangtua Chan ketika anak itu menyebutnya. Pasangan muggle itu pun balas mengangguk.

“Terus kenapa belom ke Diagon Alley?”

😯 “Kakak tau Diagon Alley?”

Lelaki itu mengedip. Sejenak, dia liat-liatan sama sang profesor, sebelum keduanya tertawa lepas. Makin kebingungan lah bocah itu.

“Tau. Tau banget, malah. Kalo kamu mau, aku bantuin ke sana?”

“Boleh??” 😯

“Boleh doongg,” 🤭 “Tapi aku ijin dulu sama bosku ya, bentar. Hyung jadi nginep ato—?”

“Jadi laaah.”

“Oke. Hannah!” sejenak, lelaki itu masuk ke bagian dalam, mungkin tempat para staff bersantai sejenak sebelum kembali bekerja. Dia sepertinya berbicara dengan seseorang. Sang profesor mengisi jeda dengan mengajak orangtua Chan mengobrol, memberikan waktu bagi anak itu untuk menjelajah sedikit di lantai pertama tempat tersebut.

Semua bernuansa kuno, dari kayu yang dipakai hingga hiasan yang dipajang. Papan menu kusam menampilkan makanan dan minuman yang Chan belum pernah dengar sebelumnya.

(“F-fire whis—butterbeer—kayaknya enak—”)

Seorang wanita tua makan sendirian di dekat jendela, menusuk paha ayam gemuk yang lemaknya menetes-netes ke piringnya. Sepasang muda-mudi mojok berdua di sudut. Buru-buru Chan mengalihkan pandangan dengan muka memerah, rasanya dosa banget udah memergoki orang pacaran.

“Oke! Hyung, nih kuncinya,” suara itu kembali lagi bersamaan dengan bunyi renceng kunci. Dilemparnya dan ditangkap oleh sang pengajar.

“Trims.”

“Sama-sama. Hannah, bentar ya. Aku nggak lama kok. Sori.”

Chan menoleh ke arah konter. Di tempat lelaki itu, kini berdiri seorang wanita berambut pirang panjang. Dia tertawa santai sambil mengibaskan tangan.

“Jangan lama-lama, Seok.”

“Siap, Bos,” lelaki itu lalu memandang Chan. “Ayok.”