16.

#wonshuaonesidedau

Hari pertama di sekolah baru, kelas baru, tingkat baru—

—dan Jeon Wonwoo menaikkan kacamatanya, memperhatikan omongan wali kelasnya dengan saksama. Tidak tertarik untuk membuka dirinya agar terasa lebih ramah. Tidak tertarik untuk beramah-tamah, malah. Anak yang mulai menjulang tinggi semenjak pubertas SMP terlewati itu memilih untuk diam seribu bahasa. Sebagian karena baru hari pertamanya di SMA, masih banyak kesempatan untuk mulai mencari teman.

(Pada akhirnya, Wonwoo akan membutuhkan teman, minimal untuk mengerjakan tugas kelompok bersama-sama).

Sebagian lagi karena ia ingin menunjukkan dirinya apa adanya. Wonwoo yang asli ya beginilah adanya. Pendiam, berbicara pelan jika terpaksa, bersemangat dan jahil ketika menemukan kenyamanan dengan orang-orang tertentu. Suka ikut-ikutan melakukan hal bodoh. Suka berbuat bodoh, juga. Tentunya poin-poin terakhir khusus untuk konsumsi mata teman-teman terdekatnya atau keluarganya.

Tapi, yah, untuk sekarang, Wonwoo menjadi dirinya di tengah orang asing: bau nerdus, agak sulit didekati karena auranya menyuruh orang menjauh. Kacamatanya berbingkai tebal. Rambutnya disisir rapi dengan poni.

Tidak asik. Tidak menarik.

Murid biasa yang membosankan.

“Oi.”

Wonwoo menoleh.

“Sini lo.”

Wonwoo berkedip dua kali. Kemudian, kepalanya memutar, celingak-celinguk mencari target anak lelaki berambut hitam pendek dan berpipi tembam itu. Jam kosong sebagai jeda antara kelas menjadi kesempatan bagi anak-anak baru saling berkenalan. Ketika tidak menemukan orang lain di sekitarnya, ia pun menoleh lagi ke arah anak itu lalu menunjuk hidungnya sendiri.

”...Maksud lo gue?”

“Iya. Elo. Emang ada siapa lagi dah,” anak itu meringis, memamerkan deretan geligi putih yang rapi. Duduk di depannya di meja yang sama, ada anak bertubuh lebih pendek dengan rambut hitam dipangkas hampir cepak, seperti kepala para anak klub olahraga. Di sisi yang lain, terduduk anak lelaki yang super ganteng dan perlente, bagai Casanova dengan kearifan lokal. Hidungnya mancung dan jakunnya memberikan kesan pertama yang kuat.

Geng yang...tidak biasa, kalau Wonwoo boleh jujur. Seperti calon geng-geng populer sepanjang SMA.

(Terus kenapa Wonwoo dipanggil...?)

(...)

(...Euh, bukan mau dijadiin bebek sumber palakan, kan?)

Diam-diam, anak itu meneguk ludah. Semoga bukan ya. Masa baru masuk sudah dipatok hidupnya bakal menderita untuk 3 tahun ke depan sih....nggak lucu anying...

Di saat itu, sisi rebelnya keluar. Biar tidak dijadikan bebek, dia harus menonjolkan dominasi. Wonwoo memang tidak ingin mencari masalah, tapi dirinya juga emoh kalau harus ditindas semena-mena.

“Lo yang ada perlu, lo yang ke sini.”

Begitu jawabnya. Ditambah rangkulan lengan di dada dan punggung yang bersandar sok santai ke kursi. Jika bisa menaikkan kaki ke meja, mungkin sudah ia lakukan, tapi segera diurungkan niat itu karena rasanya bakal kelewatan. Wonwoo juga tidak berniat menjadikan dirinya dicap berandalan.

Anak tembam itu berkedip, bertukar pandang dengan kedua temannya. Wonwoo mendengus. Matanya memejam ketika ia menaikkan kacamata.

Grrekk! Grak! Grreekkk!

Tiga bunyi bangku diseret. Saat Wonwoo membuka mata lagi, ketiga anak lelaki itu sudah duduk mengelilingi mejanya. Kaget, anak itu termangu, diam terpaku. Wajah-wajah yang mengitarinya terdiri dari dua ringisan dan satu kernyitan.

“Hei, gue Soonyoung,” anak berpipi tembam pun memperkenalkan diri. “Ini Jihoon.” Yang dimaksud adalah anak yang mengernyit dan yang paling pendek di antara mereka. “Kalo ini Jun.” Dan terakhir si Casanova, yang mengedipkan sebelah mata pada Wonwoo. “Lo siapa?”

Diam.

Si anak tembam menelengkan kepala. Menunggu, dengan mata berbinar-binar.

....Uh.

”...Wonwoo...”

“Wonwoo,” ringisan lagi. Soonyoung mendadak menjulurkan tangan, seenaknya menepuk-nepuk pundak Wonwoo. “Good. Lo gabung kita ya. Fix berempat nih, udah pas.”

..........

”....Sori?” alis Wonwoo menukik tajam, bingung akan omongan anak itu.

“Lo kayaknya boring dan B aja. Kita butuh orang kayak lu biar geng kita lengkap. Seimbang, gitu. Ada gue yang ganteng dan populer dan jago ngedance. Ada Uji yang lone wolf jenius prodigy musik. Ada Juned yang sosialita ketua paguyuban, semua dia kenal, semua kenal dia. Dan elo!”

Telunjuk Soonyoung hampir kena mata Wonwoo.

“Lo kayaknya tipikal anak-anak rohis yang kerjanya nemplok di perpus deh, ato nggak gamer pro. Either way, lo kayaknya pinter-pinter cupu gitu. Bisa lah ajarin kita kalo mau ada ujian.”

....................Sebentar, memangnya sejak kapan Wonwoo mencitrakan dirinya seperti yang disebut si anak itu? Perasaan dirinya cuma duduk di bangku, dengerin omongan guru, dan mereka kayaknya tau satu sama lain hidup aja baru beberapa jam yang lalu??

“Gimana? Ide gue bagus kan? Lo cocok buat penyeimbang geng kita. Biar kita nggak OP OP amat gitu saking perfectnya.” 🤩

“Lo...sinting ya?” serius, Wonwoo kepo 🤨

“WKWKWK NYONG DIBILANG SINTING!” Jun ngakak 🤣

“Akhirnya ada yang normal juga di kelas ini,” Jihoon memutar bola mata 🙄

“KOK?? KALIAN?? JAHAT??” 😱

“Eh, kalo kalian udah kelar bisa bubar nggak ya dari meja gue? Bentar lagi kayaknya pak guru dateng deh.” 🙄

Jihoon mengangkat bahu, lalu mendorong kursinya lagi, balik ke mejanya sendiri. Wonwoo notis kalau Jihoon sepertinya tipe yang bisa ia jadikan teman. Tidak banyak bicara, tapi langsung dijadikan tindakan. Sepertinya berteman dengannya tidak merepotkan. Mereka bisa duduk bersama membaca buku di sudut kelas dan tidak akan ada yang mengganggu ketenangan mereka.

Jun ketawa lagi, kencang nan membahana. Orang-orang tercuri perhatian olehnya. Wonwoo tidak yakin ia bisa cocok dengan orang seperti Jun. Sepertinya anak itu jenis yang berteman dengan satu sekolah, bukan dengan tiga orang saja.

Sementara anak yang terakhir...

“Pokoknya lo harus masuk geng kita! Kita butuh lo, Wonu!” 😠

“Dih,” 🙄 “Emang lu sokap.”

“Liat aja, lo pasti jadi temen kita bertiga!” 😠

Kemudian, anak itu akhirnya juga meninggalkan Wonwoo. Derap langkahnya dan dengus napasnya seakan mengobarkan tekad dari dalam dadanya. Kwon Soonyoung sudah menentukan kalau mereka harus berempat. Pas berempat. Biar seimbang, biar balanced. Perfect.

Seperti sifat anak Kwon itu. Perfeksionis sampai ke detail terkecil.

Membutuhkan lima menit untuk Wonwoo menggaruk bagian belakang kepalanya lalu menoleh ke arah jendela, melihat kelopak bunga dari pohon ceri di sebelah kelasnya yang terbang ditiup angin musim semi. Tidak habis pikir kenapa dirinya yang terjebak tiga sumber masalah di hari yang indah begini.

Sepertinya hidup Wonwoo tidak akan bisa dibiarkan tenang seperti harapannya.