10.
Wonwoo mengernyit.
“Lo ngerokok.”
Joshua menoleh, lalu nyengir.
“Gue ngerokok.”
Anak usia 14 itu mendengus. Setahun lagi telah lewat dalam sekerjap mata. Joshua dan Seungcheol sedang terombang-ambing akan masa depan mereka. Kuliah? Bekerja? Jika kuliah, jurusan apa? Jika bekerja, mengerjakan apa?
Wonwoo sendiri sudah tahu dirinya ingin jadi apa. Ia selalu tertarik dengan dunia kesusastraan dan yang berbau teknologi.
(Dan bukan karena dia pakai kacamata.)
Ia tinggal memilih mana yang ingin ia pelajari lebih lanjut.
Abangnya, Seungcheol, masih belum bisa menentukan pilihan. Ia menyenangi musik lebih dari game dan anime, tapi Seungcheol sadar terjun ke dunia hiburan tidak langsung menjamin masa depan yang bagus, apalagi kalau tetau naas, kurang laku atau kena skandal atau sejenisnya. Meski suara Seungcheol bagus dan wajahnya mendukung, ia galau apakah sebaiknya mengambil studi bisnis dan bekerja di perusahaan seperti ayah mereka.
Sedangkan Joshua...
Dicabutnya lintingan rokok itu dari celah bibirnya. Asap putih terkepul dalam bentuk lingkaran mirip donat.
“Liat, gue jago kan.”
“Nggak,” Wonwoo mengernyit makin dalam. Bukan rahasia lagi seberapa bencinya ia pada asap rokok. Ayahnya punya asma dan Seungcheol tidak pernah tertarik untuk merokok, sehingga rumah mereka selalu bersih dari asap rokok, sampai Joshua merusaknya dengan merokok di halaman belakang mereka, asap putih tertiup angin sore hari. “Nggak jago. Nggak keren. Lo tolol kalo ngira ngerokok bikin lo keren.”
“Dih kasar banget,” kekehnya.
“Ya kalo lo mau gue nggak katain tolol, matiin itu.”
“Tapi nanggung nih,” Joshua menunduk menatap puntung rokok di antara jarinya. “Dikit lagi ya? Gue perlu balik rumah bentar lagi.”
Wonwoo diam saja.
“Sori ya, gue numpang rumah lo ngerokok gini. Bonyok lo lagi nggak ada. Cheol lagi tidur. Dia bilang nggak apa kalo gue mau ngerokok, tapi di luar. Jangan di dalem rumah.
Katanya, 'Wonu benci bau rokok sama sekali'.”
Wonwoo tetap diam. Ia duduk agak jauh dari Joshua, tidak mau bajunya berbau rokok. Setidaknya, angin sedang berhembus ke arah lain, sehingga ia selamat dari ancaman tersebut. Ia memperhatikan Joshua menghisap lagi, lalu dihembusnya, sebelum akhirnya bertanya,
“Gimana Nari? Kapan lahirnya adek lo?”
Joshua tersenyum lebar.
“Katanya sih harusnya bulan ini,” ia menggerus puntung rokoknya sampai apinya mati di asbak, lalu bangkit untuk membuangnya ke tong sampah di halaman tersebut. “Anytime will do.”
“Oh.”
Joshua kemudian kembali ke duduknya dengan asbak yang sudah bersih.
“Aneh nggak sih, punya adek umur segini?”
Terus lo gimana? Gimana rasanya liat orang yang lo suka bertahun-tahun bakal ngelahirin adek baru lo? Lo masih ngotot suka sama dia?
Lo nyadar nggak sih lo tolol banget jadi orang?
“Nggak lah. B aja.”
“Ntar gue kayak bapaknya ya, kalo gue nemenin ngambil rapor, misalnya.”
“Yaelah, lo nggak setua itu.”
Joshua hanya tertawa. Hangat dan bahagia.
“Belom tentu. Di Amrik ntar gue cepet nua, tetau. Pas balik udah jenggotan.”
Detik itu, mulut Wonwoo bergerak sendiri tanpa ijin dari otaknya, “Lo bakal balik?”
Joshua menoleh. Senyumnya tetap di bibir.
“Nggak tau.”