Setelah Joshua bersikeras melucuti juga celana yang dikenakan Mingyu dan melemparnya entah ke sudut mana di kamar luas tersebut, mereka kini tidur berangkulan di kasur agar hangat tubuh sang Alpha mampu menyelimutinya dari ujung rambut hingga ujung jari kaki. Harum seduhan teh dan kue jahe merembes dari keduanya, berpadu, meresapi seprai dan selimut, bergelung di udara hingga ke seluruh bagian ruangan. Sang Omega mendengkur. Puas, karena kamar itu berbau dirinya dan Mingyu secara menyeluruh.
Dalam gelap malam di pukul 2, Kim Mingyu mengerjapkan mata. Kelopaknya berkedut-kedut, mengerut sesaat, lalu membuka. Entah apa tepatnya yang membangunkan sang Alpha, menariknya dari tidur yang damai. Tiada yang tahu. Mungkin perasaan ketika kau ditatap terus tanpa lepas oleh sepasang mata lain.
Hampir bersamaan dengan Joshua dan Mingyu yang beranjak keluar kedai kopi, dua sosok berjas, seorang wanita dan seorang pria, ikut beranjak. Wanita tersebut mengenakan kacamata hitam, sedangkan yang pria memakai masker. Sengaja, mereka menciptakan jeda dari kedua target mereka. Saat pintu kedai ditutup, mereka tengah membayar di kasir.
Setelahnya, Joshua dan Mingyu duduk berdua di sebuah kedai kopi. Suasana kedai tersebut bergaya vintage, sedikit banyak melempar Mingyu kembali ke suasana familier kedai di negaranya, dengan kertas dinding hijau bermotif bunga, karpet tebal, interior kayu berpernis dan riuh-rendah orang mengobrol di sekitar mereka. Musik klasik pun melantun sebagai musik latar dari gramofon bergaya tua tapi tetap mengilap di tengah ruangan.
“Nyonya?!” tergopoh-gopoh, sang pelayan menyeberangi koridor menuju ruang duduk dimana Nyonya Hong tengah menikmati teh jam tiganya. Wajah berbintik-bintik itu pucat pasi melihat pecahan cangkir porselen berserakan dekat kaki majikannya. “Ya Tuhan! Nyonya, Anda tidak apa-apa?”