Part 124

#gyushuaabo

Pemanggilan mereka ke istana di hari itu bukanlah okasi kasual seperti biasanya. Alasan pertama yang memperdalam kerutan di kening Kim Mingyu adalah tempat mereka berada sekarang. Bukan ruang kerja pribadi kakaknya, melainkan di aula utama dengan segala kemegahannya. Tidak lupa pakaian dan gestur Tuan Raja beserta pendampingnya yang sungguh formal. Kejanggalan yang begitu jelas di mata sang Alpha.

Sebab kedua adalah, selain dirinya, Joshua, dan Tuan Yoon, seluruh penghuni penting kerajaan serta dua tamu istimewa juga turut diundang. Ibu Suri, Tuan Kwon dan Tuan Wen, kepala militer, para kepala keluarga bangsawan berstatus tertinggi, perwakilan dari wilayah kerajaan di luar ibukota, dan, tentunya, Dewan Tetua, para penasehat kerajaan. Tetua Baek pun ada di sana, menatap tajam padanya. Kim Mingyu hanya bisa menunduk, enggan meladeni kebencian kesumat Beta tua itu terhadapnya. Lagipula, alasan mengapa Mingyu dan Joshua mengurangi intensitas bertandang ke istana setelah kelahiran bayi kembar Tuan Kwon adalah karena lelaki itu.

Tuan Raja dan Tuan Yoon cemas bila Tetua Baek menggunakan segala cara untuk menyingkirkan Kim Mingyu dari istana secara sempurna, bahkan mungkin melukai Joshua. Maka, mereka meminta Mingyu mengalah untuk kebaikan semua pihak. Mingyu jelas tidak berpikir dua kali saat potensi Joshua terseret dalam hal berbahaya muncul dalam pembicaraan mereka bertiga kala itu. Ia rela melakukan apapun bila menyangkut keselamatan Omeganya.

Namun, meski mengetahui hal tersebut, mengapa sekarang ia dan Joshua dikumpulkan bersama Tetua Baek dan anggota dewan lainnya? Ada niat apakah gerangan?

Setelah dua pengawal undur diri sambil menutup pintu besar aula utama sampai berdebum, ruangan itu pun hening. Lalu, Tuan Raja angkat bicara.

“Terima kasih atas kehadiran kalian semua,” mulainya. “Aku takkan banyak berbasa-basi. Seperti yang beberapa dari kalian ketahui, Kwon Soonyoung dan keluarganya akan pulang ke negara asalnya setelah setahun ini dilindungi oleh negara kita. Sesuai perjanjian yang kami sepakati bersama, Kwon Soonyoung akan melangsungkan kudeta dengan dibantu adiknya, Chan, dan tunangan adiknya, Lee Jihoon. Dengan pertimbangan bahwa kekuatan militer dan politik telah berada di belakang Kwon Soonyoung, maka aku memutuskan untuk mendukungnya.

Dari kerja sama tersebut, setelah raja yang sekarang berhasil ditaklukkan, negara kita akan menerima dua hal utama:

Pembukaan akses serta hubungan bilateral dengan negara Timur Jauh, negara pemerintahan Wen Junhui, suami Kwon Soonyoung, dan persemakmuran negara Kwon Soonyoung di bawah negara kita. Dengan kata lain, setelah kekuasaan direbut olehnya, Kwon Soonyoung akan menyerahkan negara itu kepadaku.”

Bisik-bisik. Riuh-rendah di antara anggota masyarakat serta Dewan Tetua. Joshua menarik napas dan, tanpa sadar, menahannya. Saat inilah, ia baru menyadari betapa serius semua ini. Mingyu meraih tangannya, menenangkannya dengan belaian lembut, membuatnya menghembuskan napas yang tertahan tersebut.

“Benar-benar keuntungan yang...sungguh besar,” Tetua Baek berkata. “Tapi, Yang Mulia, apakah itu tidak terdengar terlalu besar?”

Lelaki tua itu, secara halus, menuduh Tuan Kwon dan Tuan Wen berbohong. Meski Tuan Kwon mendelik padanya—bagaimanapun, ia adalah salah satu Omega yang tahu siapa dirinya dan tidak sungkan menggunakan derajatnya untuk menyadarkan orang lain akan tempat mereka yang sepatutnya—lelaki itu berpura-pura tak melihatnya. Tuan Wen menahan amarah suaminya agar tidak terjebak dalam perangkap mulut sang Beta.

“Bagaimana menurutmu, Mingyu?”

Kim Mingyu terkejut. Joshua juga terkejut. Selain Tuan Yoon dan Ibu Suri, hadirin di aula itu pun ikut terkejut.

“Yang Mulia!” Tetua Baek hendak memprotes, namun sang raja mengangkat tangannya. Meski tak rela, ia pun bungkam.

“Bagaimana, Mingyu?”

”...S-s-saya—” sungguh, Kim Mingyu tak tahu harus menjawab apa. “s-saya t-tidak, eh...”

“Bila kau jadi aku,” dengan tenang, Tuan Raja melanjutkan. “Disuguhi tawaran seperti itu, apa yang kau pikirkan? Tidakkah kau pikir penawaran itu terlalu bagus untukmu?”

Perlahan, Mingyu mengangguk. “S-saya akan curiga,” akunya. “Pertama, Tuan Kwon berasal dari negara musuh. Meski hubungan personal kita dengannya dan adiknya baik, namun ada rentang tahun cukup lama untuk seseorang berubah. Kedua, terlalu sedikit yang kita ketahui akan Timur Jauh, sehingga kita tak bisa membuktikan apakah perkataan Tuan Wen benar adanya.

Ketiga, apa keuntungan mereka memberikan negara mereka pada kita? Apa yang membuat saya bisa yakin kalau mereka tidak akan mengkhianati kita di tengah jalan?”

Kim Mingyu menatap sepasang suami itu, yang menatapnya balik tanpa perubahan emosi di wajah.

“Benar,” Tuan Raja menyetujui. “Karena itulah, aku meminta bukti konkret pada mereka.” Sang raja mengeluarkan sepucuk amplop. “Surat pernyataan resmi bercap kerajaan dari adiknya dan Lee Jihoon. Dan, di dalamnya, ada selembar foto lama Wen Junhui di antara keluarganya.”

Tuan Raja mengulurkan kedua benda itu pada Tetua Baek, yang segera mengeceknya bersama anggota dewan lain. Sang Alpha menunggu dengan tenang di singgasananya sampai Tetua Baek, meski gelisah, bergumam, “...Surat dan fotonya asli, Yang Mulia.”

“Syukurlah,” ringis sang Alpha. “Bila palsu, mau ditaruh di mana mukaku, Tetua.”

Sindiran. Sengaja.

“Tapi, apa tepatnya keuntungan yang didapat dari pihak—”

“Keuntunganku,” mendadak, Tuan Kwon memotong perkataan Tetua Baek dengan sinis. “Adalah kehancuran sistem hierarki di negara itu.”

Joshua, meski mengetahui rencana pangeran Omega tersebut, tetap saja gelisah mendengarnya langsung dari mulut Tuan Kwon. Ia berdeguk diam-diam ketika pandangan Tuan Kwon melipir ke arahnya.

“Aku ingin Omega dan Beta di sana sama-sama dipandang berharga sebagaimana Alpha. Aku ingin...aku ingin negaraku sedamai negara ini, dimana sahabatku, Joshua, bisa bebas berjalan-jalan di kota tanpa harus merasa terancam setiap saat,” saat pandangan orang-orang berpindah padanya, Joshua bergetar sedikit. Meski begitu, ia tetap beradu pandangan dengan Tuan Kwon. “Aku ingin Beta hidup dengan aman dan tentram, nggak perlu menyaksikan kekerasan Alpha dan ketidak berdayaan Omega. Nggak perlu dicemooh dan diremehkan.

Aku ingin Alpha menghormati Omega dan Beta sebagaimana mereka ingin dihormati oleh kami. Dan aku ingin menciptakan negara dimana anak-anak dapat tumbuh dengan cinta dan kasih sayang, tanpa stigma yang menempeli mereka begitu mereka lahir.

Hanya itu alasanku. Apakah terlalu muluk bagi Anda, Tetua?”

Tuan Wen sedari tadi mengalungkan lengan ke pundak suaminya, menyokongnya dengan harum Betanya yang menenangkan. Tuan Kwon sudah gatal ingin menyurukkan hidungnya ke kelenjar feromon suaminya, mencari perlindungan di sana, namun ia menahannya karena kondisinya sedang tidak tepat. Ia harus kuat demi keluarga dan negaranya.

Tetua Baek tidak menjawab, sementara anggota masyarakat dan dewan berbisik-bisik hebat.

“Apa Anda serius akan memberikan negara Anda pada Yang Mulia?” akhirnya, ia bertanya.

Tuan Kwon langsung mengangguk.

“Kalau itu maunya Kak Cheol,” jawabnya tanpa tedeng aling-aling. “Aku percaya sama Kak Cheol, seperti aku mempercayakan bayi-bayiku padanya ketika mereka lahir ke dunia.”

Ah.

“Anak-anakmu adalah milikku, Kwon Soonyoung,” Tuan Raja menimpali. “Mereka yang terlahir di negaraku adalah milikku sampai mereka berusia 18.”

Benar. Kewarga negaraan berdasarkan tempat kelahiran, Kim Mingyu membatin. Di satu sisi, meski ia tidak menyetujui pemikiran itu, tetapi anak-anak Tuan Kwon adalah sandera yang berharga, apabila benar mereka hendak menipu kakaknya.

Mengerikan sekali, permainan catur ini.

“Iya, Kak,” Tuan Kwon memandang balik sang Alpha. “Aku, Jun, Chan dan Jihoon bersumpah, atas nama anak-anak kami dan Tuhan kami masing-masing, bahwa kami nggak ada niat untuk mengkhianati negara ini. Anak-anakku, negaraku—ambillah. Sebagai gantinya, cukup berikan kami semua kesempatan untuk hidup sebagai manusia.

Itu aja.”

Aula yang besar itu hening. Mereka mempertimbangkan dalam hati masing-masing. Joshua meremas tangan Mingyu dalam genggamannya. Ingin mendekati Tuan Kwon...ingin memeluknya, sebagai sesama Omega yang paham rasanya hidup di negara laknat itu...

“Bagaimana?” Tuan Raja memecah keheningan tersebut. “Apakah ada dari kalian yang meragukan kevalidan rencana Kwon Soonyoung?”

Mata saling melirik. Kepala perlahan saling menggeleng. Ketika tidak ada sanggahan, satu tangan terangkat secara mengejutkan.

“Saya tidak meragukannya, Yang Mulia,” itu adalah Jenderal Min, kepala militer di negara ini. “Saya mengetahui Jenderal Lee dan, meski berasal dari negara musuh, Beliau adalah salah satu sosok yang saya hormati. Jenderal Lee bukan tipe individu yang akan mengobarkan pemberontakan jika memang pemerintahan sekarang tidak bermasalah. Tiada asap tanpa ada api. Namun, biarkan saya bertanya, tepatnya bagaimana kudeta tersebut akan dijalankan? Apa rencananya?”

Bisik-bisik terdengar lagi, bersama anggukan kepala. Saat itulah, Tuan Raja menjawab dengan serius.

“Aku akan menggunakan perumpamaan di sini. Sebenarnya, mereka telah melemahkan kepala,” ucapnya. “Kepala yang sudah lemah itu tinggal ditebas oleh Kwon Soonyoung sebagai simbol pemerintahan yang baru. Namun, untuk menebas kepala, ada tangan kanan yang perlu kita lenyapkan. Tangan kanan yang, jika aku boleh jujur, amat menyusahkan. Tapi, setelah tangan itu lenyap, sistem negara itu akan langsung runtuh begitu saja.

Di situ lah kelemahan utamanya.

Karena itu, aku memutuskan untuk menemani Kwon Soonyoung dan Wen Junhui ke negara mereka. Aku akan meminta beberapa orang terbaikmu menemani kami, Jenderal Min, dan tunggulah kabar dariku. Selalu bersiaplah.”

Sontak, ruangan itu pun geger.

(“Menemani??“)

(“Yang Mulia, Anda tidak serius—”)

(“Bagaimana jika di perjalanan Anda terluka, atau lebih buruk lagi—!”)

(“Lalu kerajaan ini...siapa yang memimpinnya?!”)

Saat arah pandang kakaknya jatuh ke Mingyu, sang Alpha meneguk ludah. Mulutnya tetiba terasa kering. Joshua perlahan ikut menoleh ke arah suaminya seperti seluruh hadirin di aula besar itu.

“Kim Mingyu,” tegasnya, keras dan jelas. “Kau yang akan memimpin negara ini selama aku pergi.”