Part 121

#gyushuaabo

Tiga minggu setelah hari ulang tahun Joshua yang ke-18, Kim Mingyu menikahi Joshua Hong.

Mereka menikah di kapel kecil kediaman keluarga Kim ketika salju putih berderai lembut di luar jendela. Pemanas berbahan bakar gas dinyalakan untuk menjaga ruangan tersebut tetap hangat meski di tengah musim dingin. Para keluarga dan sedikit tamu undangan hadir dengan jejak salju di sol sepatu mereka. Mantel-mantel tebal dan topi tinggi dibuka, lalu berpindah tangan ke para pelayan yang dengan sigap menerima dan menyimpannya secara apik.

Joshua berada di ruangan terpisah dari Mingyu, dengan ibunya dan Yoon Jeonghan menemaninya, terlihat bersinar oleh kebahagiaan. Atas permintaan ibunya lah ia mengundur tanggal pernikahan mereka. Ketika Joshua merengut protes dan bertanya kenapa, ibunya menjawab,

“Ini pertama dan terakhir kalinya Mama bakal nikahin anak Mama. Let me give you at least a proper wedding, Joshua...”

Yang, tentu saja, membuat si anak langsung menyerah. Meski hatinya ingin cepat-cepat memiliki Mingyu, namun ia juga ingin menghormati kehendak ibunya. Maka, dibantu oleh Yoon Jeonghan yang kelewat antusias, mereka mempersiapkan Joshua untuk pernikahannya.


Something old, something new.

Something borrowed, something blue.

And a sixpence in his shoe.


Ibunya memberikan Joshua cincin turun-temurun dari keluarganya. Cincin tua yang merupakan benda paling berharga dan dijaga baik-baik sejak ibunya menerimanya dari nenek Joshua. Sekarang, cincin itu menemukan jalan ke penerus darah keluarganya, diikat menjadi kalung yang sederhana, namun cantik.

Yoon Jeonghan meminjamkan kemejanya untuk Joshua. Tentu bukan yang ia sendiri kenakan di hari pernikahannya, karena pakaian itu menjadi milik kerajaan. Joshua datang ke kediamannya di istana dan memilih kemeja yang paling indah di matanya: berwarna pastel merah muda lembut yang terbuat dari bahan satin, membuat Joshua nampak seratus kali lebih menawan. Jeonghan lalu menangkup pipi Joshua dan tersenyum lebar,

“Tolong jaga adik kesayanganku.”

Joshua hanya bisa menangkup balik tangan Jeonghan di pipinya, lalu mengangguk perlahan.

Buket bunganya adalah campuran Hydrangea biru dan baby's breath, dengan aksen warna-warni bunga mawar. Mingyu tersipu-sipu saat mendengar hal itu dari Joshua, teringat masa dimana ia masih berusaha meminta maaf pada sang Omega atas kesalah pahaman di pesta dansa pertama mereka. Separuhnya, Mingyu takjub karena Joshua masih ingat akan buket tersebut.

“Itu kan hadiah pertama dari kamu,” ujar Omeganya dengan kilauan di mata. “Masa aku lupa.”

Joshua tidak menyangka Mingyu akan menciuminya kemudian karena hal sesepele itu, namun, tentu saja, manalah sang Omega menolaknya ♥️

Keping koin di dalam sepatu. Dan, sesuatu yang baru...

Jari Mingyu agak gemetar kala memasukkan cincin ke jari manis Omeganya. Begitu hati-hati, seakan takut melakukan kesalahan. Joshua tersenyum menahan geli melihat ekspresi super serius Alphanya, begitu pun Tuan Raja yang berdiri di sisi Mingyu dan Yoon Jeonghan di sisi Joshua.

Pastor yang diberikan kuasa untuk menikahkan mereka adalah kawan keluarga kerajaan dan diminta secara spesifik oleh Tuan Raja untuk menikahkan adiknya. Terduduk di bangku-bangku kayu, ada ibu Joshua dan Ibu Suri, Lee Seokmin dan Betanya, Boo Seungkwan, sepasang orangtua baru, Wen Junhui dan Kwon Soonyoung, dengan masing-masing memeluk satu bayi mereka, lalu Dokter Jeon dan suaminya, Seo Myungho, menempati kursi tengah. Kerumunan yang jelas membuat alis Tuan Lee, Nyonya Kang, Nyonya Oh, beberapa tetangga terdekat Mingyu dan orang-orang yang telah membantu mereka, terangkat begitu tinggi.

Yang Mulia Baginda Raja! Yang Mulia Pendamping Raja! Yang Mulia Ibu Suri!

Bagaimana bisa mereka datang ke pernikahan sederhana ini?!

Baginda Raja menjadi pendamping Tuan Kim?! Siapa sebenarnya Tuan Kim, tetangga mereka yang misterius itu?!

Tentunya, mereka yang mengetahui kenapa, hanya melontarkan senyuman sebagai jawaban, membiarkan mereka tenggelam dalam berbagai pertanyaan. Satu hal yang pasti: Alpha dan Omega di tengah kapel kecil hangat itu tengah mengikat janji setia selamanya dikelilingi oleh kebahagiaan tak berujung.

Tuan Kim, sang Alpha, dalam balutan kemeja satin dan jas wol yang dibordir benang emas dengan indah pada sisi-sisinya, menggenggam tangan Omeganya. Ia hanya memandangi kekasihnya yang terlihat sangat, amat cantik hari ini. Bibirnya yang memerah. Matanya yang bersinar oleh suka cita.

Joshuanya.

Cincin pernikahan mereka terpasang dengan pasti di jari manis masing-masing. Di dalamnya, terukir inisial keduanya dan tanggal pernikahan mereka. Janji pernikahan mereka sederhana, namun berat oleh makna yang dibagi hanya oleh mereka berdua: keinginan untuk berbahagia bersama-sama sampai akhir hayat mereka.

“—saya sahkan Anda sebagai suami dan suami. Silakan mencium suami Anda—”

Joshua tiba-tiba mengecup ujung hidung Mingyu, persis di tahi lalat yang menjadi ciri khas sang Alpha. Matanya berkilau jahil. Cantik sekali. Rongga dada meluap oleh cinta, Alphanya pun refleks merespon dengan merenggut pinggang suami yang baru dinikahinya itu dan menciuminya lekat-lekat. Joshua tersenyum, lalu balas merangkul Mingyu, membuka mulutnya demi lidah sang kekasih hati. Ia yang telah bertemu Alpha Mingyu tidaklah heran, namun hadirin yang kurang familier dengan sisi posesif Tuan Kim yang biasanya begitu lembut pun terkesiap. Seokmin, Jun dan Soonyoung menyuiti dari duduk mereka. Jeonghan tertawa, seperti halnya Ibu Suri dan ibu Joshua. Para tetangga dan Seungkwan menunduk malu, ada juga yang salah tingkah. Dokter Jeon menggelengkan kepala sambil berdecak, sedangkan suaminya, Myungho, tersipu pipinya.

Tuan Raja, menyaksikan itu, tertawa lepas. Wajah tampannya nampak senang melihat adiknya, akhirnya, menemukan kebahagiaan sejati dalam hidupnya. “Mingyu. Tahan dirimu sedikit,” ucapnya di sela-sela tawa. “Tentu kau tidak bermaksud menggigit leher Omegamu di depan khalayak ramai begini, bukan?”

Gigitan.

Mingyu melepas ciumannya. Ia sama terengahnya dengan Joshua. Sama-sama menatap satu sama lain dengan gairah, kerinduan, keinginan primal untuk segera menikahkan serigala mereka juga di dalam kenyamanan sarang mereka berdua. Oh, tidak ada yang Kim Mingyu lebih inginkan saat ini selain membenamkan taringnya di kelenjar feromon Joshua, memberi tahu pada dunia bahwa Omega yang indah ini adalah miliknya.

Omega yang indah ini telah memilihnya.

Dan bekas taring sang Omega juga akan tertinggal di kelenjar feromonnya sendiri.

Namun, dengan susah payah, sang Alpha dan Omega menarik mundur serigala mereka, kembali ke pesta yang tengah berlangsung. Gelas-gelas tinggi berisikan sampanye lalu diedarkan. Semua hadirin memberikan ucapan selamat pada mereka. Pesta pun pindah ke ruang makan yang telah dipersiapkan oleh para pelayan. Berbagai perkenalan dan cerita-cerita lucu dipertukarkan. Rasanya absurd sekali menyaksikan Ibu Suri duduk di meja yang sama dengan Nyonya Oh si pemilik toko bunga, namun Ibu Suri meminta garam pada Nyonya Oh dan wanita itu hampir saja pingsan.

Setelah makan, mereka berpindah ke ruangan rekreasi. Di sana, mereka menghabiskan waktu hingga jam besar berdentang sembilan kali. Malam telah larut. Tamu-tamu sudah banyak yang pulang. Ibu Joshua memeluk anaknya untuk terakhir kali di hari itu, lalu, dengan kepergian ibunya, Joshua Hong ditinggalkan sendirian sebagai suami dari Kim Mingyu.

Di tengah rumah megah kediaman Kim, mereka saling berpandangan, sesaat, sebelum tersenyum lebar.

“Akhirnya,” Joshua berjinjit sedikit untuk mencium pipi Mingyu dan berbisik manis. “Suamiku.” Sang Omega menghadiahi dirinya dengan rona merah di wajah Alphanya dan genggaman tangan. Cincin pernikahan mereka saling bersentuhan. Joshua sudah tidak sabar untuk menyandang tanda kepemilikan Alpha Mingyu di lehernya, tapi, ah, mereka berdua punya seluruh waktu di dunia.


(Love is not love,)

(Which alters when it alteration finds,)

(Or bends with the remover to remove:)

(O, no! it is an ever-fixed mark,)

(That looks on tempests and is never shaken,)

(It is the star to every wandering bark;)

(Whose worth’s unknown, although his height be taken.)

(Love’s not Time’s fool, though rosy lips and cheeks)

(Within his bending sickle’s compass come;)

(Love alters not with his brief hours and weeks,)

(But bears it out even to the edge of doom.)

(If this be error and upon me proved,)

(I never writ, nor no man ever loved.)


*) Shakespeare sonnet 116