Part 120

#gyuahuaabo

Setelah Joshua bersikeras melucuti juga celana yang dikenakan Mingyu dan melemparnya entah ke sudut mana di kamar luas tersebut, mereka kini tidur berangkulan di kasur agar hangat tubuh sang Alpha mampu menyelimutinya dari ujung rambut hingga ujung jari kaki. Harum seduhan teh dan kue jahe merembes dari keduanya, berpadu, meresapi seprai dan selimut, bergelung di udara hingga ke seluruh bagian ruangan. Sang Omega mendengkur. Puas, karena kamar itu berbau dirinya dan Mingyu secara menyeluruh.

(Esok hari, ketika seorang pelayan hotel masuk untuk membenahi kamar, mungkin pipi Beta itu akan memerah karena jejak feromon kentara yang pasangan itu tinggalkan.)

Joshua menempel lekat bak bintang laut pada tubuh telanjang Alphanya, persis seperti kehendak Omega di dalam dirinya. Pipi Joshua berbantalkan sisi dada dan pundak Mingyu, sementara tangannya di perut lelaki itu. Mingyu refleks melingkarkan lengan di bahu kekasihnya, menjaga agar kekasihnya bisa tidur dengan rileks. Dagunya bersandar pada kepala Joshua. Di balik selimut, satu kaki Joshua mengait kaki Mingyu.

Saat itulah, sesuatu mengenai lututnya.

Joshua terkekeh jahil. “Apa nih, Gyu?” mata si anak berbinar, sadar betul tepatnya apa yang ia rasakan. Kekehannya makin renyah ketika dilihatnya wajah sang Alpha merah padam.

“S-saya—” meski Mingyu gelagapan, ia tidak berani bergerak sedikit pun. Ia tidak ingin memaksa Joshua merubah posisinya. “—tidak mungkin tidak—soalnya Anda sedekat ini—t-tapi saya tidak akan—hanya saja, saya tidak bisa mengontrol reaksi ilmiah—”

Di detik itulah, Joshua tertawa. Ia tertawa lepas, membuat wajah Alphanya semakin dan semakin merona. Tawanya puas sekali sampai-sampai ada jeda hingga, akhirnya, tawa tersebut mereda.

“Paham, paham. Santai. Aku juga cowok,” kantung mata Joshua melengkung mengikuti tarikan sebuah senyuman jahil. Mingyu rasanya ingin menggali lubang di tanah dan bersembunyi di sana saking malunya. “Justru kalo sebaliknya, aku yang kepikiran.”

Benar. Kalau Mingyu tidak tergugah sedikit pun ketika mereka tidur berpelukan tanpa busana seperti ini, maka rencana pernikahan mereka mungkin terancam batal. Syukurlah kekasihnya jelas menginginkannya di tempat tidur.

“Tidak akan pernah ada sebaliknya,” bisik Mingyu. Agak ditariknya Joshua untuk masuk lebih dalam ke rangkulannya hingga hidung Omega tersebut menyuruk tepat di kelenjar feromon Mingyu. “Sampai kapanpun.”

Harum... Feromon Alpha yang tengah malu-malu bercampur bahagia. Joshua tidak akan pernah bosan menghirupnya, lagi dan lagi.

Tanpa disadarinya, sang Omega sudah menduseli sisi leher Alphanya, menempelkan baunya sendiri di sana. Hidung dan bibir Joshua naik ke rahang Mingyu. Bahkan, di satu momen, sang Omega mengusapkan kelenjar feromonnya tepat di kelenjar feromon Mingyu, memaksa Mingyu menarik napas mendadak, begitu terkejut oleh sentuhan tiba-tiba tersebut. Alpha di dalamnya terbuai, mabuk oleh cinta dan pemujaan. Omeganya mengklaim kepemilikan atasnya seperti ini... Alpha mana yang tidak akan ekstatik akannya. Mingyu menggeram rendah. Dadanya bergemuruh oleh dengkuran, membuat senyuman simpul muncul di wajah Omeganya, yang senang karena Alphanya nampak senang. Senyuman itu kian melebar saat Mingyu turut membauinya.

Setelah puas membanjuri kulit satu sama lain dengan feromon masing-masing, mereka kembali ke posisi sebelumnya. Joshua menghela napas panjang. Kantuk mulai memberatkan kelopak matanya.

“Sayang,” mendadak, Mingyu angkat bicara. “Apakah...Anda yakin?”

“Hmm?” lemah oleh kantuk dan rasa bahagia, sang Omega hanya mendengungkan jawabannya.

“Menikah. Maksud saya, minggu depan? Apakah tidak terlalu cepat?”

Joshua mengerutkan kedua alisnya, “Kamu nggak mau nikah sama aku?”

“Tentu saja bukan begitu,” jelas sang Alpha. “Tapi tidakkah ada hal-hal yang ingin Anda persiapkan terlebih dahulu menjelang pernikahan? Tuan Yoon memerlukan setahun untuk mempersiapkan segalanya—”

“Jeonghan nikah sama raja, Gyu,” kekeh Joshua. Namun, ia berhenti sejenak, baru teringat akan sesuatu yang penting. “Oh iya... kamu kan adeknya raja ya? Kamu juga perlu banyak persiapan kayak nikahan mereka ya?”

Mingyu tertawa perlahan. Kedua sudut matanya berkerut karena sunggingan bibir. Ciri khas sang Alpha yang, diam-diam, disukai Omeganya. Ingin rasanya Joshua menghabiskan malam hanya dengan mengelusi dan menciumi wajah tampan kekasihnya itu.

“Saya bukan anggota keluarga resmi,” jelas sang Alpha. “Tidak ada kewajiban bagi saya untuk mengikuti adat sakral kerajaan. Bagaimanapun, saya hanyalah anak pungut.”

Mendengar kata itu keluar dari mulut Alphanya, sang Omega merengut. “Anak pungut apaan sih?” decaknya kesal, tidak setuju akan sebutan Mingyu pada dirinya sendiri. “Adek raja ya adek raja. Kalo kuliat selama ini, Ibu Suri sama Raja nggak ada lho perlakuin kamu nggak kayak keluarga mereka, Gyu.”

“Saya paham dan berterima kasih akan itu,” aku Mingyu. “Namun, saya juga tahu diri saya siapa. Saya hanyalah anak tanpa orangtua yang hampir mati kelaparan di jalanan bila Mendiang Ayahanda tidak menemukan saya. Saya tidak mau pongah akan kebaikan hati yang banyak saya terima selama ini.”

Joshua merengut makin dalam. “Kamu pantes kok, Gyu, dikasih banyak kebaikan dalam hidup,” diduselnya pipi ke kulit hangat Mingyu. “Jangan bilang kamu anak pungut lagi ya...? Aku jadi sedih dengernya...”

Bila Mingyu terkejut karena ucapan tersebut, maka ia mampu mengendalikan diri secepat mungkin. Kakak dan ibundanya sering memintanya untuk berhenti menganggap dirinya berbeda kasta dengan mereka, tapi ia tak menduga Joshua akan sedih karenanya. Dan apalah Kim Mingyu, bila tidak berusaha menepati janjinya untuk selalu membahagiakan Joshua?

Dengan lembut, dibelainya sisi kepala Joshua. Rambut hitamnya terasa halus pada telapak tangan Mingyu. “Baik, jika itu kehendak Anda...,” gumamnya perlahan.

Tapi, Joshua menggeleng.

“Aku nggak mau kayak gitu juga,” anak itu mengangkat kepalanya. Ia agak beranjak dari posisinya agar bisa menangkup sebelah pipi Mingyu. Parasnya antara sedih dan berharap. “Bukannya udah kubilang? Kamu penting buatku, Gyu. Kamu ngerubah duniaku. Aku nggak akan pernah tau gimana rasanya cinta kalo bukan karena kamu.

Kamu orang paling berharga buatku setelah ibuku. Inget itu, Gyu. Kamu bukan 'cuma anak pungut', bukan juga orang yang nggak pantes dapet banyak kebaikan dari orang lain, soalnya kamu sebegini berharganya.”

Usapan ibu jari pada pipinya pelan dan begitu lembut. Sang Alpha tidak menyadari bahwa ia menahan tangis sampai pandangannya mulai buyar. Mata Omeganya pun berkaca-kaca.

“Adalah kehormatan buatku mencintai dan dicintai kamu,” lirih bisikannya, getir oleh emosi. “Bagi masa lalu kamu ke aku, Gyu. Hiduplah bersamaku di masa kini dan masa depan. Kayak kamu, aku juga mau ngebahagiain kamu seumur hidupku...”

Sebulir tangis menuruni pipi Mingyu. Joshua mengecup pipi itu, merasakan asin pada bibirnya. Ia kemudian memeluk Mingyu, membiarkan Alphanya menyurukkan kepala ke sisi leher kekasihnya dan melepas haru birunya. Alpha terbaik dan terlembut yang dicintai sang Omega dengan sepenuh hati. Sebagaimana Joshua merasa aman dalam pelukan Mingyu, Mingyu pun begitu.

Mereka menghabiskan sisa malam bercerita akan banyak hal. Akan masa lalu yang diingat samar-samar oleh Mingyu. Akan ucapan menyakitkan para penghuni kerajaan akan dirinya dan keluarga kakaknya. Akan usahanya mencari tahu siapa keluarganya, namun berakhir sia-sia. Mingyu mencurahkan seluruh isi hati yang seumur hidup telah dipendamnya, menelanjangi dirinya sendiri pada Omeganya.

Dan Joshua, dengan lengan terbuka dan cinta yang begitu melimpah ruah, menerima Kim Mingyu apa adanya.

Di tengah malam yang kian larut, akhirnya sang Alpha dan Omega bertemu secara utuh.