Part 125

#gyushuaabo

Chaos.

Seketika, semua orang memiliki sesuatu untuk disampaikan. Mereka berlomba-lomba untuk menyuarakan ketidak setujuan, penyanggahan, beberapa sedang berusaha meresapi apa yang barusan terlontar, yang lain melemparkan pertanyaan demi pertanyaan lanjutan. Di antara kekacauan tersebut, Joshua menyaksikan bagaimana paras suaminya berubah pucat pasi seputih kertas. Mingyu bagai buku yang terbuka. Ia sebingung dan sekaget sang Omega.

“Gyu...,” bisiknya. Joshua meremas tangan Mingyu lagi sambil melepas feromonnya, bermaksud menenangkan batin suaminya yang bergejolak hebat. Namun, Mingyu terlalu tenggelam dalam kekhawatirannya untuk menyadari usaha Joshua. Sang Omega pun cemas mengetahui betapa ganjilnya keadaan Mingyu saat ini. Mingyu tidak pernah tidak menyadari keberadaannya seperti ini.

“Yang Mulia!” yang paling keras menentang, tidak lain dan tidak bukan, adalah Tetua Baek. Suara sang Beta tua itu menggelegar, menjulang di antara kicauan hadirin lainnya. Derapnya garang saat ia mendekati singgasana. “Apakah Anda mendengar perkataan Anda sendiri?! Bukankah saya telah memperingatkan Anda bahwa keberadaan darah buruk di istana saja sudah menodai nama baik keluarga kerajaan, kini Anda hendak mengangkatnya menjadi raja??”

Tuan Raja menatapnya dalam diam. Ia tidak menampakkan emosi apapun, seolah sedang meladeni luapan angkara seorang bocah belaka.

“Lagipula, Yang Mulia,” Nyonya Hwang, salah satu anggota dewan, buru-buru menambahkan. “Bukankah Yang Mulia Pendamping Anda tengah mengandung? Saya mohon agar Anda memikirkan lagi rencana Anda untuk pergi.”

Atas pertanyaan barusan, Tuan Raja mau tak mau menoleh. Tuan Yoon, yang sedari tadi memejamkan mata, perlahan membukanya untuk menatap balik sang suami. Menuruti kehendak hati, Tuan Raja dengan lembut mengambil tangan Tuan Yoon untuk dikecupnya, penuh cinta dan permintaan maaf tanpa kata-kata.

“Terima kasih atas perhatian Anda, Nyonya,” jawab Tuan Yoon sambil tersenyum ramah pada sang wanita Beta. “Tapi Cheol dan aku telah membicarakannya. Meski berat bagi kami semua, namun kewajibanku lah sebagai pendamping untuk mendukungnya. Aku tidak apa-apa. Cheol sudah berjanji bahwa dia akan pulang padaku dan anak kami, apapun yang terjadi.”

Itu adalah ancaman paling manis yang pernah Tuan Raja terima. Ia pun ikut tersenyum seperti Omeganya. Jika ada faktor keengganan terbesar baginya untuk berangkat ke medan perang, maka itu adalah fakta bahwa ia harus meninggalkan Omeganya dalam keadaan hamil muda. Betapa beratnya, harus saling menciptakan jarak signifikan saat keduanya dalam kondisi yang terbilang rapuh: insting Alphanya ingin melindungi Omega dan bayinya, sedangkan insting Omega Tuan Yoon senantiasa mencari perlindungan pada Alphanya.

“Aku berjanji...,” lirihnya, parau oleh emosi mendadak. Ia mengucapkannya lebih kepada suaminya, alih-alih pada mereka yang berada di pihak oposisi. “Aku berjanji akan pulang pada kalian, meski aku harus menyeret tubuhku melewati lautan...”

Omeganya—kekasihnya—tersenyum semakin lembut. Tuan Raja pun membiarkan dirinya sejenak hanyut dalam tangkupan tangan di pipi serta harum feromon sang Omega yang kini agak berubah. Wangi bunga Freesia dan pir yang, di tengahnya, muncul sedikit nuansa manis madu. Bukti nyata bahwa di dalam perut Omeganya tengah tertidur buah cinta mereka berdua, menunggu untuk bertemu dengan orangtuanya kelak.

Suara dehaman mengembalikan dunia milik mereka berdua ke realita yang sedang menegang.

“Yang Mulia. Saya harap Anda memikirkan ulang keputusan Anda dengan kepala dingin,” gerutu sang Beta Tua. “Kim Mingyu tidak memiliki kualifikasi untuk—”

“Tetua, Mingyu adalah adikku,” dengan cepat, Tuan Raja menyela. “Sejak kecil kami dibesarkan tanpa ada perbedaan sama sekali. Semua kelas yang kuikuti, semua ilmu yang kudapat, semua strategi dan keahlian berperang—Mingyu juga mempelajarinya. Mingyu pun kerap membantuku menyelesaikan masalah di bawah meja seperti tadi, ketika aku bertanya apa pendapatnya mengenai tawaran kerja sama itu.” Tuan Raja mendecak keras. “Mungkin kalian tidak tahu, tapi banyak keputusan penting yang kuambil adalah hasil pemikiran dan wawasan luas Mingyu. Kalian seharusnya berterima kasih padanya, bukan menyangsikannya seperti ini.”

Semakin geram setelah disindir (lagi) oleh sang raja, wajah Tetua Baek pun memerah oleh amarah.

“Tapi, Yang Mulia, tidak ada yang tahu Kim Mingyu anak siapa!” tunjuknya kejam pada sang Alpha, yang kian mengerut dan mengerut oleh kerendahan diri. Joshua refleks memposisikan dirinya agak di depan Mingyu, berniat melindungi suaminya dari hujatan tanpa henti sang Beta. Ia menggertakkan gigi dan menggeram. Tangannya pun terkepal, gatal ingin menghajar lelaki itu. “Tidak ada yang tahu darah macam apa yang mengalir dalam dirinya! Bisa saja darah kriminal rendahan atau pelacur kotor—”

“TETUA!“

Sang Raja murka. Ia menggunakan suara Alphanya tanpa dinyana, membuat bulu kuduk semua yang hadir di sana meremang seketika. Segala emosi yang meninggi dihancurkan paksa secara mendadak, membuat para Omega mendengking, para Beta bercucuran keringat dingin, sedangkan para Alpha langsung bungkam, hampir-hampir menggigit lidah mereka sendiri. Bola mata Tuan Yoon dan Ibu Suri membelalak, terkejut oleh reaksi Tuan Raja.

“SEKALI LAGI KAU BERBICARA SEPERTI ITU, AKAN KUTARIK LIDAHMU DAN KUUMPANKAN KE BURUNG GAGAK! KIM MINGYU ADALAH ADIKKU! BERAPA KALI HARUS KUKATAKAN PADAMU?!“

“Cheol! Hentikan!” pinta Tuan Yoon.

“Choi Seungcheol,” tukas Ibu Suri. “Kendalikan dirimu, Putraku.”

Alpha Pemimpin Tertinggi sekalipun, bila dua Omega terpenting dalam hidupnya telah angkat bicara, maka ia berusaha menuruti mereka. Meski sulit, dipejamkannya mata dan diurutnya kening untuk menetralkan emosi. Ia tahu ia telah berbuat salah—kehilangan kontrol akan serigalanya seperti barusan hingga menggunakan suara perintah Alphanya di depan banyak orang—namun ia mencoba untuk memperbaikinya sembari menahan diri mati-matian untuk tidak segera bangkit dari singgasana dan mencekik leher Beta tua keparat itu.

Hadirin di sana terlihat resah. Terguncang. Atmosfernya memberat, membuat perasaan tidak enak. Jenderal Min bergeming memandangi lantai tanpa berani mengangkat wajah sampai amarah Alpha pemimpinnya itu mereda. Joshua merapatkan diri ke Mingyu secara instingtif, sebagaimana halnya Tuan Kwon memeluk sisi tubuh Tuan Wen. Tuan Wen langsung memeluk balik suaminya, menarik kepala merah itu hingga hidungnya tepat di kelenjar feromon Betanya.

Sementara Tuan Raja menenangkan diri dibantu belaian lembut Omeganya, Ibu Suri berpaling pada sang Beta. “Tetua Baek,” nadanya yang sopan, namun tegas, terlantun di aula luas tersebut. “Apakah status darah sebegitu pentingnya bagi Anda? Apakah kebencian Anda pada status darah Mingyu membutakan Anda dari kebaikan hatinya?”

Perlahan, Ibu Suri mendekati Mingyu. Desiran gaunnya di sepanjang karpet merah terdengar begitu jelas dalam setiap langkahnya. Joshua menjauh sedikit, memberi jarak yang sepadan ketika Ibu Suri semakin dekat. “Anak ini,” ucapnya. “Adalah putra keduaku dengan Mendiang Baginda. Meski bukan anak kandung kami, namun dia adalah putra kami.” Ditangkupnya pipi sang Alpha. Diangkatnya wajah itu. Dilihatnya mata sang Alpha telah berkaca-kaca. “Anak pemberani yang memiliki hati paling bersih dan indah di seluruh dunia...”

“Ibunda...”

“Mingyu tidak salah apa-apa, Tetua. Dia tidak salah apa-apa. Tak ada anak yang terlahir dengan dosa, seberapa pun buruknya kelakuan orangtuanya.”

”...Maafkan saya karena mengorek luka lama, Yang Mulia, tapi apakah Anda ingat akan desas-desus yang muncul ketika Mendiang Baginda membawa anak itu ke istana?”

Mendengar perkataan Tetua Baek, Ibu Suri merapatkan bibir. Raut wajah Mingyu memucat bagai anak anjing yang baru saja tertendang.

“Bahwasanya Kim Mingyu adalah anak simpanan Mendiang Baginda,” lanjut sang Beta tanpa sungkan. “Dan rumor bahwa Anda telah membesarkan anak hasil hubungan di luar nikah mendiang suami Anda sendiri santer beredar di kalangan bangsawan. Kita sudah kehilangan muka ketika Raja Terdahulu memporak porandakan negeri ini. Bila rakyat menganggap raja setelahnya sama buruknya, maka pemerintahan akan goyah.

Saya dan mendiang kakak sepupu Anda bersusah payah melenyapkan rumor itu dan membantu memulihkan nama baik kerajaan. Namun, bila Kim Mingyu dibiarkan bebas berkeliaran di istana, apalagi diangkat menjadi raja sementara, maka semua rumor itu akan kembali ke permukaan, Yang Mulia.

Kami berdua saja tidak mampu melenyapkannya hingga tuntas, apalagi kini saya hanya sendirian.”

”...Rumor itu tidak benar, Tetua,” setelah agak lama terdiam, Ibu Suri bergumam. “Anda tidak perlu cemas. Mingyu bukanlah anak Mendiang Baginda. Apabila rumor semacam itu beredar lagi, maka aku sendiri yang akan naik ke podium dan membacakannya pada seluruh dunia.

Sudah cukup. Semua yang Anda sekalian tudingkan pada anak ini sejak dia kecil, sudah cukup... Hentikan...”

Ibu Suri menunduk. Ia mendesah, hampir terisak. Mingyu segera meraih dan mengelus tangan Ibu Suri di pipinya.

“Membacakan??” seru Tetua Baek. “Membacakan apa, Yang Mulia?”

“Ibunda, sudahlah—”

“Putraku...,” suara Yang Mulia Ibu Suri begitu getir oleh emosi yang campur aduk. “Maafkan kami karena telah menyembunyikannya darimu, tapi, selama ini, aku dan Mendiang Baginda tahu siapa orangtuamu...”