Jun menyeruput mie yamin pake pangsit gorengnya (“Mas, yang biasa yah,” maksudnya kecapnya dua gejrot, cabenya enam sendok) sambil mendengarkan Kwon Soonyoung “curcol” ke Uji. Sungguh, sungguh absurd banget, ngeliat anak yang baru aja kemaren ditendang perutnya sama Wonu, sekarang duduk di kantin sama dua orang temen Wonu, bahkan kayaknya ikrib bingits sama Uji.
Siapa yang pernah bilang ya, kalau semua orang kasmaran itu bego? Kaki di kepala, kepala di kaki.
Entah siapa, tapi yang pasti, Seungcheol tidak akan lupa bagaimana ia merampas jaket dari belakang pintu kamarnya, menuruni tangga dengan berisik sampai-sampai ibunya bertanya ada apa. Ia hanya bilang pada ibunya kalau ada barang yang ketinggalan di tempat Josh dan ia perlu mengambilnya untuk kuliah nanti. Lalu, ia menstarter mobilnya.
Seperti di kuliah, Jeon Wonwoo di rumah sama efisien dan praktisnya. Begitu masuk tadi, Soonyoung tak bisa menahan diri untuk tidak mempelajari isi rumah Jeon Wonwoo. Tembok bercat putih. Lantai tanpa karpet apapun. Sederhana...tidak, lebih tepatnya, kosong. Hampir tidak ada furnitur besar seperti di rumahnya sendiri. Tidak ada almari. Tidak ada buffet, rak, bahkan meja makan... Dan, jelas, tidak ada sofa. Hanya ada televisi kecil yang seharusnya sudah masuk museum saking kunonya.
Mingyu menghela napas setelah meneguk wine. Di sisinya, terduduk Minghao dalam jubah tidur menimpa piyamanya, dengan kedua kaki diangkat dan menekuk di atas kursi. Ia terus saja tersenyum memandangi bulan.