220.

#soonwoo

Mendengus puas, Kwon Soonyoung mendongak. “Udah ya, Jeon Wonwoo, barusan banget gue transfer—”

Berhenti, karena dilihatnya paras Jeon Wonwoo sekeras batu. Seketika itu juga, seluruh darah seolah surut dari wajah anak Kwon. Berdasarkan pengalaman, dia tau bahwa paras itu adalah tanda kalau semua akan berakhir runyam.

Handphonenya jatuh ke meja. Soonyoung menelan ludah, berpikir bahwa, ah, lagi-lagi, habislah sudah.

Lagi-lagi dia berbuat salah.

...

Wonwoo memandangi SMS banking yang baru saja dia terima. 25 juta masuk begitu saja ke dalam rekeningnya. Hanya dalam sepersekian detik. Dia sudah menjadi joki tugas orang lain sejak sebulan yang lalu, tapi penghasilannya saja tidak segini.

”...Lo tau? Ini sebenernya alesan gue nendang lo waktu itu, waktu lo jatohin ikan asin jambal roti gue di kantin,” keluar bagai bisikan, yang susah ditangkap telinga andaikata Kwon Soonyoung tidak memusatkan fokusnya pada Jeon Wonwoo semata. “Gue perlu susah payah ngejokiin tugas orang, kerja banting tulang, nggak tidur, nggak makan. Dan somehow, di minimnya kebaekan dunia ke gue, ibu kantin ngasihin gue ikan jambal roti gratis. Dan, elo, dengan enaknya, ngejatohin ikan itu terus, dengan enaknya, langsung ngeluarin hape dan siap transfer duit ke gue. Nggak pake usaha. Nggak pake kerja susah payah. Lo cuma sentuh hape lo dan duit dateng gitu aja.”

Inilah kenapa,

“Seberapapun kerasnya gue kerja, gue nggak akan bisa menang dari orang-orang tajir kayak lo, yang cuma mandang orang kayak gue sebelah mata. Ketawa dari atas, sementara orang kayak gue cuma bisa ngais-ngais lobang minta keluar.”

Wonwoo benci orang kaya.

“Trims, Kwon Soonyoung, lo ngingetin gue lagi alesan kenapa gue benci orang tajir dan kenapa gue benci lo—”

“GUE ENGGAK-!”

Begitu mendadak tangan-tangan Kwon Soonyoung menyambar dan meremas kedua tangan Jeon Wonwoo. Wonwoo terkejut. Soonyoung juga, tapi keterkejutan itu sirna, dilahap oleh keputus asaannya mempertahankan orang itu, lelaki itu; seseorang yang sedikit lagi, sedikit lagi, bisa dia panggil teman. Sedikit lagi saja...

”......”

”......”

”....gue enggak...,” tercekat. Napas Soonyoung seolah hilang. “Nggak pernah, uh, mikir lo lebih rendah dari gue. Gue e-enggak pernah mikir kayak gitu...”

Tangannya yang menggenggam tangan Wonwoo bergetar.

“Gue...gue ngeliat lo lebih hebat dari gue, Jeon Wonwoo. Lo bisa...bisa ngelakuin banyak hal. Lo bisa masak. Bisa ngurus rumah. Ngurus kucing. Bisa tau ikan sama apel yang bagus yang mana. Bisa bedain cara cuci baju warna sama putih. Lo bisa bikin steak yang enak padahal dagingnya seharga toast Janjiw. Lo bisa...bisa ngerjain tugas orang lain pake gaya tulisan beda-beda... Bisa...bisa punya Uji, Bang Cheol, Jun, juga Gyu sama pacarnya yang selalu jagain lo...”

”...lepasin...”

“Gue nggak pernah ngeliat lo lebih rendah. Justru sebaliknya...kan? Gue...gue nggak punya apapun. Cuma punya uang. Cuma itu yang bisa gue kasih ke orang. Gue nggak punya apapun selain uang. Gue nggak bisa apa-apa. Nggak bisa bedain apel sama ikan yang bagus. Nggak bisa masak nasi. Nggak tau bedanya keperluan kucing piaraan sama kucing jalanan. Gue nggak tau apa-apa, nggak bisa apa-apa.”

“Oi—”

“Justru gue yang takut lo bosen temenan sama gue karena gue nggak bisa apa-ap—”

Kedua tangan Wonwoo bergerak cepat, membekap paksa mulut Kwon Soonyoung agar berhenti mengoceh. Anak itu bagai dam yang bocor bila sudah mulai mengalirkan ketakutan dan kegugupannya, takkan berhenti jika tidak diintervensi.

Diem.

Pandangan mereka bersirobok dalam rentang waktu cukup panjang. Pengunjung lain mulai memutar kepala ke arah ribut-ribut yang mereka sebabkan, membuat Wonwoo mengerling sinis ke mereka dan tanpa verbal menyuruh mereka jangan ikut campur.

“Kalo gue lepas, lo janji bakal diem?”

Jawabannya berupa sebuah anggukan lemah. Wonwoo pun perlahan melepas tangannya dari mulut Soonyoung. Anak itu menarik napas dalam-dalam. Kepanikan barusan membuatnya kekurangan oksigen.

”......”

”......”

”...Sori, gue tuh cuma bercanda pas bilang gue nggak dibayar.”

”...Ah...”

“Gue nggak ngira lo bakal beneran bayar gue...segini banyak...”

“Ah-umm, gue juga m-minta maaf, udah maen kirim, nggak, umm, mastiin lagi ke elo. Tapi, seriusan, Jeon Wonwoo, gue nggak pernah bermaksud jelek, mm, soalnya ikan itu...i-itu kan salah gue, utang gue ke elo karena makanan lo jatoh, jadi gue harus lunasin utang gue. Mm. Niat gue c-cuma itu...”

Terbata-bata, dan, akhirnya, kembali diam. Mereka diam untuk beberapa lama, sama-sama bingung mau bilang apa.

“Gue juga tadi sempet emosi...sori...”

Dimana Kwon Soonyoung menggeleng cepat.

“Aaaaaahhhhhh...,” separoh frustasi, Wonwoo mendadak menyelonjorkan kedua kakinya. Dia duduk merebah semakin rendah hingga kepalanya persis bersandar di pinggiran kursi. “Kayaknya gue kalo ngobrol sama lo, umur gue berkurang 10 tahun deh nih...”

“E-eh?”

“Gue nggak suka lo maen transfer duit seenaknya. Gue tau lo tajir, Kwon, but don't flex your money in front of me. Belajar tenggang rasa sedikit.”

“I-i-iya!” buru-buru dia mengangguk.

“But I guess that also goes for me. Belajar tenggang rasa,” gumaman. “Oke. Biar kita sama-sama enak, lo jangan umbar kekayaan lo depan gue dan gue akan berusaha ngendaliin emosi gue kalo lo udah bikin gue spaneng.

How's that?”

Mata Soonyoung mengerjap-ngerjap.

“Lo...masih mau nemenin gue maksi dan ngobrol?”

“Selama lo janji nggak bikin gue naek darah.”

“O-oke! Gue, uh, coba...?”

Jeon Wonwoo pun meringis. Diulurkannya tangan untuk, di luar dugaan Soonyoung, menepuk-nepuk perlahan kepala anak itu, membuat sirkuit Kwon Soonyoung agak konslet.

Ringisannya terkembang.

“Good.”