213.

#soonwoo

“Mmh—”

Lagi. Lagi. Bibir Seungcheol kembali ke bibirnya. Joshua terkekeh, napas hangat saling beradu. Dia menangkup pipi Seungcheol dan menggesekkan ujung hidung mereka berdua, sebelum mengembalikan ciuman pada kekasihnya sebanyak dua kali lipat.

Adiktif. Adiktif.

Bibir ini. Tangan ini. Hangat ini.

Mengerikan...

Tanpa disadarinya, Joshua hampir berpindah dari joknya ke jok pengemudi Seungcheol, hampir saja duduk di atas pangkuan lelaki itu untuk menciuminya sampai bibir mereka berdua memerah dan bengkak. Hampir. Untungnya, Joshua menahan diri. Dia pun mendorong dirinya kembali, dalam diam mencoba menetralkan napas.

Tangan Seungcheol tidak melepas tangannya. Mereka tidak ada rencana untuk bertemu, sejujurnya, namun tetiba saja Seungcheol mengirim chat, memberitahu Joshua bahwa mobilnya sudah di depan kediaman Kwon Soonyoung. Seperti saat mereka berciuman pertama kali dulu, Joshua menyambar jubah tidurnya dan lari menuruni anak tangga menuju pelukan kekasihnya.

Mereka merasa susah untuk jauh dari satu-sama lain barang beberapa jam saja.

Ini tidak normal.

Joshua meneguk ludah beberapa kali. Jemarinya meremas balik tangan Seungcheol. Kalau ini dibiarkan, mereka akan ketergantungan terhadap satu sama lain. Joshua tidak menginginkan ini. Ia memang tidak terkena dampak apapun, karena dia hanya punya Seungcheol dan Hoshi dalam hidupnya, tetapi tidak begitu halnya dengan Seungcheol. Kekasihnya itu punya banyak sekali orang penting lain dalam hidupnya dan Joshua tidak ingin menjadi penyebab Seungcheol mengurangi waktu untuk mereka.

Maka, setelah tegukan ludah terakhir, Joshua menghela, “Kita nggak bisa gini terus, Cheol.”

Seungcheol segera menoleh.

“Kita...kita nggak boleh kayak gini terus.”

”...Kamu ngomong apa, Shua?”

“I mean, kita harus bisa bagi waktu. Kamu kan kuliah, orangtua sama sodara juga punya. Belom sama temen-temen kamu. Kamu, uh, nggak bisa abisin waktu kamu buat aku melulu—”

Mendengar itu, Seungcheol serta merta mengangkat dan meremas kedua tangan Joshua. “Tapi aku mau,” matanya yang tajam menyatakan keseriusan. Dengan tidak melepas pandangan, dikecupnya perlahan punggung tangan sang kekasih. “Aku milih ini, Shua, ngehabisin waktuku sama kamu. Aku milih kamu.”

“For what?” di antara debaran jantung tak terkendali, suara Joshua lirih. “Kissing for hours inside your car in the middle of the night?”

“Hmm,” Seungcheol terdengar seperti kucing yang mendengkur puas. “These lips are worth it.” Dikecupnya bibir Joshua lagi, menimbulkan semburat merah di pipi yang bersangkutan.

“But I don't want it,” keras kepala, ah, Joshua Hong. “Aku larang kamu dateng malem-malem kayak gini lagi, Choi Seungcheol. Kita bisa ketemu wiken, tapi selain wiken, we live our own lives like normal people.”

Kini Seungcheol nampak kebingungan. Jujur, dia tidak melihat dimana tidak normalnya mereka? Ini kan wajar, apalagi bagi pasangan yang masih terbilang baru (apalagi, dia baru diperbolehkan mencium Joshua akhir-akhir ini). Fase honeymoon, kata orang-orang.

“But, babe—”

“No buts!” Joshua mengangkat telunjuk dengan tegas. “Nggak ada lagi ketemu malem gini, nggak ada lagi kamu malem-malem nyetir ke sini, dan kita jalan pas wiken aja.”

Seungcheol kemudian menutup mata, hanya bisa menyerah. Mengalah.

“Paham, Cheol?”

Fine, fine,” he groaned.