218.

#soonwoo

Kwon Soonyoung duduk diam, makan sundubu jjigae dengan seafood. Matanya tertuju ke apa yang lagi dimakannya, nggak sekali pun melihat ke arah Jeon Wonwoo.

Jeon Wonwoo duduk persis di depannya, memandangi anak Kwon dengan kernyitan sebelah alis. Aneh. Dia memang udah ngerasa Kwon Soonyoung (tambah) aneh sejak baca balasan Whatsapp anak itu tadi, tapi baru sekarang dia yakin kalo anak itu (tambah) aneh.

“Hoi.”

“Hmm?” barulah, detik itu, Soonyoung mendongak dan menatap Jeon Wonwoo.

“Lo kenapa?”

“Apanya?”

“Itu...?” ditunjuknya si anak Kwon. “Muka lo. Mata lo. Whatsapp lo. Kok aneh?”

Alih-alih menjawab, Kwon Soonyoung menelengkan kepala, tanda tak paham. Seolah Wonwoo sedang mengoceh nggak jelas juntrungannya. Makin bingung lah anak itu melihat gelagat Kwon Soonyoung.

”...Terserah deh.”

Menyerah, Jeon Wonwoo mendesah, kemudian kembali merunduk dan berkutat dengan tumpukan kertas yang tengah ditulisnya. Di sisi kanan, ada beberapa lembar yang telah dipenuhi tulisan tangan berbeda-beda. Kwon Soonyoung mengerjap sekali, dua kali, seakan baru sadar bahwa teman makan siangnya dari tadi sedang mengerjakan sesuatu.

”...Lo ngapain?”

“Nulis.”

“Oh.”

Hening.

”...Ini tugas dari dosen kelas gue minggu lalu. Anak-anak disuruh buat essay minimal dua halaman folio bergaris soal materi yang kemaren dibahas,” jelasnya kemudian.

“Kok tulisan lo beda-beda?”

“Ini tugas anak-anak kelas gue.”

“Oh...”

Hening lagi. Kwon Soonyoung menghirup jus melonnya, menyecap lidah, sebelum menyadari arti perkataan Jeon Wonwoo.

“Eh??” matanya melebar ketika telah sadar. Dia pun merunduk agak maju. “Maksud lo, lo yang ngerjain tugas anak-anak—hmmph!“

Barusan mulutnya dibekap lagi oleh Jeon Wonwoo. “Berisik,” geramnya. “Gimana kalo ada dosen lagi makan juga di sini? Nggak usah lebay, njing!” Lalu ditariknya tangan itu kembali. “Lagian biasa aja kali, ngerjain tugas orang, kayak lo nggak pernah aja jebe-jebe nugas ato nyontek.”

“Y-ya, tapi kan nggak dikerjain temen gue semuanya juga??” kali ini, Soonyoung merendahkan suaranya. Takut kalau Jeon Wonwoo marah lagi. “Kenapa kok lo yang ngerjain semua gini??”

“Nih.”

Gesekan ibu jari dengan telunjuk.

“Ap—”

Jeon Wonwoo meringis, “Duit lah. Emangnya karena apa lagi?”

.............

”......oh,” badan Soonyoung mundur untuk merebah di sandaran kursi. “Lo nyari, mm, duit lagi?”

Anak itu cuma mengangkat bahu dengan santai. “Gue butuh duit, soalnya gue tinggal sendirian,” akunya. “Mana gue musti bayar utang kan ke elo.”

“Kan lo lagi bayar juga utang lo sekarang...,” sanggah Soonyoung. “Lo lagi nemenin gue makan.”

“Right. Bout that,” mendadak saja, Jeon Wonwoo mendongak dan mengangkat jari telunjuk. “Gue mau proposal quotation ke elo. Gimana kalo, tiap gue nemenin lo makan, gue bakal add-on ngobrol sama lo dan, well, basically being nice and civil to you during the time, tapi lo naekin bayaran lo ke gue dua kali lipatnya?”

Kwon Soonyoung mengambil waktu untuk mencerna dan berpikir baik-baik.

“Maksudnya, lo nemenin gue makan dan lo bakal berlaku, umm, baek ke gue dan all that?”

“Yeah, yeah, all that.”

“Like a date?”

Wonwoo serta merta melongo. Soonyoung langsung mengulum bibir bawahnya hingga membentuk garis lurus. Keduanya sama-sama sadar betapa anehnya pertanyaan barusan.

“S-s-sori—” Soonyoung yang paling pertama memecah keheningan, sementara Wonwoo mengalihkan pandangan. Dia mengusap-usap kerut di dahinya.

“Nggak lucu,” hardiknya.

“Sori...”

“Terserah sih kalo lo nggak mau,” lalu, helaan napas. “Maksud gue biar cepet juga gue bayar utang ke elo, dan lo at least dapet sesuatu dari makan siang sama gue, kayak...apa kek, ngobrol, ato yah, gitu.”

“Gue kira, umm, kita...udah ngobrol dan...dan pas lo ngasih tau gue soal kucing juga...lo bahkan ngajarin gue masak nasi...”

“Dan gue nggak tagih lo buat itu semua,” dijawab dengan hambar oleh Jeon Wonwoo. “Bego banget deh gue.”

Kwon Soonyoung melebarkan mata. Baru tersadar, dia. “O-oh! Bener! Ya ampun, iya ya. Kenapa gue nggak bayar lo buat itu semua??” panik, anak Kwon buru-buru merogoh saku di celana dan bajunya, dengan segera menarik hapenya. Kemudian, tanpa banyak bicara, dia langsung mengetik di tombol keypad dalam kecepatan luar biasa.

Firasat Jeon Wonwoo buruk.

“Bentar...lo ngapain?”

Tepat di saat itu, hapenya sendiri bergetar di atas meja.