206.
“Hosh.”
Malam itu, Joshua pulang dari kencannya dengan Seungcheol ke Soonyoung yang duduk di sofa ruang tengah. Di pangkuannya, ada buku yang terbuka, namun jelas terlupakan untuk dibaca. Rumah kediaman Kwon Soonyoung yang megah itu sepi, selain alunan musik klasik yang memenuhi setiap celah dingin di sana. Para pelayan sudah bertolak ke bangsal masing-masing, meninggalkan majikan muda mereka duduk sendirian dalam cahaya remang-remang.
Gymnopedie, batin Joshua. Premiere. Satie.
Dia pun langsung duduk di salah satu lengan sofa. Sentuhan lembut terasa di sisi kepala anak Kwon sebelum ditariknya perlahan ke dalam pelukannya. “Hosh, kenapa...?” dielus-elusnya bagian belakang kepala sahabat satu-satunya itu. Soonyoung menghembuskan napas lalu merebahkan kepalanya dalam pelukan Joshua.
Pelukan hangat yang telah ia kenal bertahun-tahun lamanya.
“Jeon Wonwoo punya pacar.”
“Hmm,” Joshua terus saja mengelusinya. “Terus kenapa sedih?”
“Gue nggak sedih.”
“I have ears, Hosh,” rujuknya ke musik yang tengah mengalun dari pemutar piringan hitam di ruangan tersebut.
“Beneran,” dia meyakinkan Joshua. “Gue nggak sedih. Tapi...nggak tau, mungkin sedih juga?” Bagaimana menjabarkan sesuatu yang dia tidak pahami sendiri? Sesuatu yang mengganjal dalam dada, terbawa kemana-mana selama seharian penuh ia beraktivitas, namun tak bisa ia lepaskan karena, terus terang, ia tidak tahu itu apa dan bagaimana cara melepasnya. Ia hanya tahu perasaan itu menjadi duri dalam dagingnya. Onak belukar melilit, menyayat jantungnya, perlahan tapi pasti.
Joshua tidak berkata apa-apa. Ia hanya menaikkan elusannya dari bagian belakang kepala Soonyoung ke pipinya. Lalu, dengan kedua tangan, ditangkupnya pipi anak itu agar mata tertuju tepat pada miliknya.
“Kenapa?”
Kamu sedih. Kamu seperti kesepian.
Kwon Soonyoung menelan ludah. Manalah ia bisa berdusta di depan dua bola mata hitam terindah di dunia?
”...Sedih, soalnya Jeon Wonwoo nyembunyiin hal sepenting itu dari gue, Joshi,” tidak terasa seperti bohong, tapi bukan sebuah kebenaran. Lidahnya terasa pahit.
“Emangnya kalian udah sampai tahap apa?”
“What?”
“Temenannya,” Joshua berpikir sejenak. “Ato udah lebih dari temen?” Siapa tahu? Dua orang sebaya, tidak sedarah, cukup lama bersama. Tidaklah tidak mungkin tumbuh bibit-bibit cinta.
Tetapi, atas pertanyaan itu, Kwon Soonyoung menggeleng. Tidak, itu juga tidak benar. Tidak terasa benar. “Kami cuma temen,” sangkal Soonyoung dengan kerutan alis. Asing terhadap pemikiran menjalin hubungan lebih dengan Jeon Wonwoo. “Kenalan, mungkin. Gue nggak ngerasa dia nganggep gue temen, Josh.”
“Just because he hides his girlfriend from you?” bujuk Joshua.
“No...,” kali ini, Soonyoung mendadak terlalu letih. Dikalungkannya lengan di seputar pinggang Joshua. “I don't know. I'm just too tired of everything...”
Dan Joshua maklum. Untuk beberapa saat, ia biarkan Soonyoung menekan wajahnya ke perut Joshua, memeluknya seakan tengah berlindung pada seorang ibu dari kejamnya dunia. Joshua adalah segala dalam hidup Soonyoung. Ayah, ibu, teman, sahabat, saudara, mentor, belahan jiwa.
Soulmate.
Bukan untuk dinikahi, tetapi untuk hidup selama mungkin bersamanya, mengetahui, jika Joshua mati, maka ia pun mati.
Hanya Joshua...
(“Ayo makan yok? Belom abis nih.”)
...
Wajah Jeon Wonwoo yang tersenyum simpul padanya...
Dieratkannya pelukan. Dibenamkannya wajah sedemikian rupa sehingga Joshua merunduk, menutupi tubuh orang yang dikasihinya. Ia memberikan kecupan lembut pada ubun-ubun Soonyoung.
“Besok...”
“Hmm?”
”...gue mau ke tempat Jeon Wonwoo.”
“Okay. Should I or Cheollie be there?”
Ia menggelengkan kepala.
“Okay,” sebuah kecupan lagi. “Let's go to bed. I'll let you sleep with me tonight.”
Kwon Soonyoung, yang enggan kembali ke kamarnya sendiri yang dingin, mengangguk menyetujui. Ia ingin tidur memeluk Joshua, menghirup aroma tubuhnya dan merasakan hangat kulitnya. Mendengarkan detak jantungnya, sesuatu yang membuat Soonyoung merasa lega.
Tiap detak jantung Joshua berkata 'aku hidup, aku hidup.'
...'Bahkan dari karma burukmu, Kwon, aku tetap hidup.'
Napas Soonyoung mendadak tercekat. Lagi. Datang lagi. Pemikiran buruk yang selama ini berhasil ia singkirkan ke pinggir ingatan semenjak ia meminta Jeon Wonwoo mengikutinya kemana-mana. Sekuat hati, ditekannya pemikiran itu, dikembalikannya jauh, jauh ke dalam, ke bagian terdasar yang gelap gulita, tak punya kesempatan untuk naik lagi ke permukaan. Tak ada. Tak boleh.
Ia tidak mengijinkannya.
“Hosh?” Joshua bertanya lagi. Nadanya bingung.
Diangkatnya kepala.
“Ung.”
Kwon Soonyoung pun tersenyum.