Sambil ngedumel, Mingyu mandangin mukanya di kaca wastafel abis cuci muka. Belakangan ini udara panas banget ya Tuhan, tapi kalo pake AC padahal masih jam segini ntar bayar token listriknya bisa semaput gan. Susah emang ya jadi kelas menengah ngehe di kejamnya ibukota. Abis cuci muka, si ganteng kita ini ngamat-ngamatin mukanya, kopek-kopek bekas luka kemaren kebeset kuku di rahang, terus ngecek komedo di idung. Aduh gatel tangan pen mencet.
But no. Tangan kotor. Ntar malah makin nggak bener. Harus bisa menahan diri, Kim Mingyu, yuk bisa yuk ୧( ˵ ° ~ ° ˵ )୨
Chamomile. Hirupan satu kali sanggup menentramkan hati. Hangat mengalir melalui tenggorokannya, melepaskan penat Wonwoo seharian akan kerjaan dan masalah rumah tangga. Mingyu memotongkan kue madu buatan sendiri dan ditaruhnya di piring kecil cantik terbuat dari keramik untuk disajikannya bersama teh. Ia selalu memastikan ketersediaan kue-kue di rumah mereka karena tahu bahwa Wonwoo sangat menyukai makanan manis sejak pertama mereka bertemu.
Mingyu tertawa ketika anak lelaki sulungnya itu langsung meloncat masuk pelukannya. Ia membopongnya, lalu membanjiri wajah anak itu dengan kecupan sayang. Bau khasnya bercampur dengan bau khas Wonwoo di sekujur tubuh anak itu, persis ketika mereka pertama kali membauinya sebagai milik mereka berdua saat Hangyul lahir. Bau yang menetramkan Alpha yang resah dalam tubuh Mingyu sejak Wonwoo ngambeg padanya.
Wonwoo masih nungguin ibu kantin masakin mie rebusnya dulu, jadi di meja itu cuma ada Soonyoung sama Jihoon pas Jihoon mulai ngomong. Di antara seruputan saus tteokbokki dan 'clak-clak-clak' kunyahan gigi, Soonyoung langsung mengangkat kepala. Tatapnya bertanya.
Entah karena pengaruh keberadaan Jihoon atau bukan, yang pasti Kwon Soonyoung lebih diem hari ini. Baguslah, batin Wonwoo. Setidaknya makan siang kali ini bisa lebih tenang dan dia nggak dibombardir pertanyaan demi pertanyaan like usual.
Mereka bertiga duduk di meja kantin, persis di depan mas-mas tteokbokki. Ketika dia dan Jihoon sampai tadi, sudah ada tiga mangkok kertas isi makanan tersebut di atas meja. Satu ditaruh di depan Kwon Soonyoung, dua sisanya dibiarkan berada di tengah meja tanpa penjelasan apapun. Warna kuahnya merah kental dan dibalur begitu banyak keju (yang kayaknya nggak mungkin kecuali si Kwon minta extra extra dari extra cheese pas pesen tadi).
Nada sambung pertama dan suara Minghao menyapanya.
“Hey, Hao...”
Kemudian, desahan panjang. Kim Mingyu melirik ke arah Wonwoo yang tengah memandanginya dengan rasa penasaran bercampur simpati. Mereka berdua telanjang di atas ranjang, namun tak satupun dari mereka yang peduli. Fokus keduanya pada suara di handphone Wonwoo.
Mingyu menekan loud speaker, kemudian menaruh handphone di kasur.
Seungcheol terkekeh, lalu menjatuhkan hapenya ke antara paha. Ia mengubah gigi dari P menjadi D setelah Joshua memasang sabuk pengaman di sampingnya dan mulai menekan gas. Melihat kekasihnya senyum-senyum, ia mau tak mau penasaran juga.
“Kenapa?” tanya Joshua.
“Enggak,” masih senyum. “Kwon Soonyoung nge-WA gue.”
Soonyoung merengut. “Tapi kan enak...,” protesnya.
“Tiga puluh rebu perak buat roti, dikit daging sama sayuran. Buang-buang duit aja,” Jeon Wonwoo berdecak. Ia berkata seolah ia tidak menghabiskan Spicy Bulgogi Toastnya dalam beberapa menit.
Wonwoo duduk di satu sisi. Soonyoung duduk di satu sisi. Di tengah-tengah mereka, ada meja persegi. Meja itu berisikan satu roti panggang (Crispy Chicken Mentai, katanya) dalam tempat karton dan satu cup plastik isi minuman (susu dan...entahlah, warnanya hijau). Selain itu, ada sekantung besar plastik dengan banyak boks putih bertuliskan merk dagang mereka. Plastik yang buru-buru disingkirkan Soonyoung ke kursi lain ketika Wonwoo datang dengan mata menyipit curiga.